Desa Ciwangi adalah salah satu desa di Kabupaten Garut. Desa ini sangat asri dan pemandangannya indah karena terletak di bukit gunung Ciwangi. Pepohonannya yang rindang, rumputnya yang hijau, dan air sungainya yang jernih menghiasi indahnya desa ini. Suasana dinginnya pagi dan warganya yang ramah juga akan meninggalkan kesan tersendiri bagi siapapun yang pernah singgah di desa ini.
Ahmad adalah seorang penduduk asli Desa Ciwangi. Dia dikenal pandai, jujur, amanah, dan saleh sehingga tidak heran apabila Ia terpilih sebagai kepala desa di desa tersebut. Sudah 2 (dua) periode Ahmad menjabat kepala desa. Banyak masyarakat yang puas dengan kinerjanya karena masyarakat kerap kali mendapatkan bantuan. Dari perilaku Ahmad itu, keluarga Ahmad pun mendapatkan kehormatan dari para warga desa.
Di desa tersebut terdapat dua kelompok masyarakat, kelompok pertama menghormati Ustaz Khafi yang dikenal saleh dan alim di mata para pengikutnya dan kelompok kedua menghormati Mbah Dzahir yang dikenal sakti mandraguna di mata para pengikutnya. Meskipun terkadang Mbah Dzahir dan Ustaz Khafi beserta para pengikutnya seringkali berbeda pendapat, sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan mereka tetap menghormati apapun yang telah menjadi keputusan pemimpin di desanya. Pernah ada konflik fisik, tetapi pada akhirnya tetap bisa berdamai.
Mbah Dzahir dan para pengikutnya sangat menghormati Gunung Ciwangi, termasuk pohon-pohon besar di gunung itu. Mereka mensakralkannya, bahkan mereka juga kerap kali menyajikan persembahan hasil alam kepada gunung itu. Namun tentu saja tindakan tersebut sangat dibenci oleh Ustaz Khafi beserta para pengikutnya, karena hal tersebut tergolong perbuatan Syirik Akbar. Adapun perbuatan syirik adalah tindakan dosa besar yang sulit terampuni di mata Tuhan yang selalu disembah dan senantiasa dipuja oleh para pengikut Ustaz Khafi.
Suatu ketika, dalam rangka meningkatkan pemasukan kas desa dan memajukan desa, Ahmad yang mempunyai tanah luas warisan dari kedua orang tuanya akan mewakafkan sebagian tanah tersebut untuk dibangun kawasan perumahan layak huni. Rencananya, perumahan tersebut akan dihuni oleh para pemuda yang baru saja membina rumah tangga agar para pemuda tersebut juga bisa hidup layak dan siap bergerak untuk membangun desa.
Salah satu upaya yang dilakukan Ahmad adalah memanfaatkan pohon-pohon, pasir, dan bebatuan di Gunung Ciwangi. Sebagian untuk kebutuhan pembangunan perumahan, sedangkan sebagian lainnya akan dijual untuk upah pekerja, bantuan masyarakat, dan keperluan-keperluan untuk membangun perumahan yang Ahmad harapkan bisa meningkatkan kesejahteraan bagi warganya.
Namun ternyata kebijakan Ahmad untuk mengambil sumber daya dari Gunung Ciwangi mendapatkan reaksi yang sangat keras dari Mbah Dzahir beserta para pengikutnya yang notabene bertempat tinggal tepat di bukit Gunung Ciwangi. Mbah Dzahir tidak rela apabila Gunung Ciwangi harus diambil kekayaan alamnya. Terlebih lagi, gunung itu adalah objek pemujaan Mbah Dzahir beserta para pengikutnya sebagaimana amanat dari para leluhurnya. Kalau itu terjadi, maka tidak ada lagi objek yang bisa disembah dan dipuja oleh Mbah Dzahir dan para pengikutnya.
Lain halnya dengan Ustaz Khafi beserta para pengikutnya yang tinggal jauh dari bukit Gunung Ciwangi, mereka senang sekali mendapat kabar tersebut. Mereka sepakat dengan kebijakan Ahmad, karena dengan demikian tidak akan ada lagi kesyirikan di desa tersebut. Bahkan kebijakan Ahmad juga mendapatkan dukungan dari para ulama di sekitar Desa Ciwangi yang sangat membenci perbuatan syirik. Mereka yakin bahwa kalau perbuatan syirik tidak ada, maka masyarakat akan makmur, sejahtera, dan terhindar dari bencana.
Semakin banyaknya dukungan kepada Ahmad, rupanya membuat Mbah Dzahir harus menerima kenyataan tersebut, karena rupanya para pemuda dari pengikut Mbah Dzahir juga banyak yang setuju dengan kebijakan Ahmad. Kebijakan Ahmad dinilai sangat menguntungkan masyarakat, terutama para pemuda yang akan mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Tiga tahun berjalan kepemimpinan Ahmad sebagai kepala desa di periode keduanya, masyarakat telah banyak mendapatkan keuntungan berupa kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Lain halnya dengan Mbah Dzahir yang telah mati karena hidupnya kesepian dan hidup tanpa harapan. Karena akhir hidupnya yang menderita itu, banyak masyarakat berspekulasi bahwa itu adalah azab akibat perbuatan semasa hidupnya. Perlahan pengikut Mbah Dzahir sudah tidak ada lagi, mereka berpindah haluan untuk mengikuti ajaran Ustaz Khafi.
Di akhir tahun, tepatnya di 3 tahun lebih kepemimpinan Ahmad, seperti halnya daerah tropis pada umumnya, Desa Ciwangi diguyur hujan cukup lebat. Hujan ini terjadi seharian penuh, sehingga di malam hari terjadilah longsor dan banjir bandang. Hal tersebut terjadi karena gunung yang gundul dan objek-objek material lain berupa bebatuan dan tanah dari gunung yang tidak sempat terangkut, sehingga warga desa yang tinggal di bukit gunung tersebut merasakan dampak dan akibat berupa longsor dan banjir dari gunung Ciwangi.
Ada banyak korban jiwa akibat kejadian tersebut, yang kebanyakan adalah mantan pengikut Mbah Dzahir karena tinggal di bukit gunung tersebut. Ahmad yang tinggal jauh dari bukit dan para tokoh setempat kaget, seketika mereka menyibukkan diri untuk mencarikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan warga yang terdampak. Ketika sedang mengevakuasi warga yang nyawanya tidak terselamatkan, sembari membagikan bantuan Ahmad dalam pidatonya dan Ustaz Khafi dalam ceramahnya berpesan kepada masyarakat “sabar, semua ini adalah ujian dari Tuhan”.
Warga pun terdiam, dan sebagian mantan pengikut mbah Dzahir seketika mengingat kembali akan sosok dan nasihat mbah Dzahir.