Teringat kisah menyakitkanku di tahun sebelumnya…
Bapakku seorang kuli bangunan. Ia ditugaskan selama 4 bulan untuk membangun sebuah gedung di daerah Grogol, Banten. Bersama teman-temannya, ia selalu bekerja dari pagi hingga petang. Bukan berarti kuli bangunan adalah pekerjaan yang rendah, dan selalu merasakan kemiskinan karena honor yang tak seberapa. Buktinya aku selalu merasa tak pernah kekurangan dan malah merasa kaya, kaya karena hati yang tetap sabar dan tabah karena bisa menerima pekerjaan bapak.
Biasanya di penghujung bulan, Bapak selalu mengirimkanku uang bulanan. Tetapi tepat pada tanggal 1 Desember 2018, kulihat rekening di bank kosong. Biasanya Bapak selalu mengirimnya dengan tepat waktu, tapi mungkin kurasa ia ada halangan.
Aku telaten sabar dan selalu berprasangka baik untuk menunggu, sampai datangnya akhir bulan. Kulihat rekening dan hasilnya masih kosong.
Ya tuhan, ada apa ini! Batinku resah.
Tanggal 31 Desember 2018, aku sangat terpuruk. Jika di tahun sebelumnya, Bapak selalu pulang dan merayakan tahun baru bersamaku walau hanya kita berdua dan beberapa jagung bakar yang dibelinya ketika pulang kerja. Tapi kali itu aku ditemani suarah jangkrik sawah dan ribuan nyamuk, bersama katak bakar hasil tangkapanku sendiri dari sawah tetangga.
Aku tak mau diam terus-menerus, rasa penasaranku mulai memuncak. Di malam pergantian tahun baru itu, aku memutuskan untuk pergi mencari Bapak, di daerah Grogol yang lumayan jauh dari rumahku.
Saat tiba disana, kulihat di depan mataku gedung yang mewahnya luar biasa. Perlahan aku mendekat untuk meraba hasil dari tangan-tangan pekerja keras termasuk Bapakku.
“Dek, cari siapa yah?” seorang satpam menegurku dari arah samping, aku terkejut.
“Saya cari pekerja bangunan disini yang namanya Pak Seno, apa Bapak kenal dengan beliau?” tanyaku dengan nada serak karena dari rumah hingga ke tempat itu, aku belum minum sama sekali. Melihat kondisi uangku yang hanya cukup untuk ongkos bulak-balik dan tak memungkinkan untuk membeli air, walau hanya lima ratus rupiah saja.
“Oh, kuli bangunan yang ramah senyum itu yah… memang adik siapanya?” satpam itu balik bertanya.
“Saya Nabila, saya anaknya.”
“Oh, setahu saya. Sudah beberapa hari ini saya juga tidak melihat si Seno, yang ada hanya teman-temannya saja. Saya sempat Tanya juga kemana perginya si Seno pada teman-temannya, tetapi tak ada yang menjawab sama sekali. Dan ketika saya mendekat, mereka malah menghindar…” jelasnya sambil melayangkan pandangannya untuk berfikir.
Setelah merenung sebentar, aku memutuskan untuk mencari Bapakku dengan Pak satpam. Kami sepakat untuk mencarinya bersama-sama dengan melihat masuk kedalam gedung, waktu berjalan hingga jam menunjukkan pukul 12.00 WIB. Dan aku masih belum menemukan Bapak, air mata perlahan menetes. Seharusnya malam itu aku dan Bapak ada di rumah untuk merayakan tahun baru bersama-sama.
“Sabar yah Neng… Bapakmu pasti ketemu,” ucap satpam itu menenangkanku.
Sampai akhirnya aku tidak sengaja menyender pada dinding yang kemungkinan baru jadi itu, dindingnya retak. Aku mulai curiga.
“Pak sepertinya ada sesuatu dibalik tembok ini!”
Karena penasaran, Pak satpam memberanikan diri untuk membongkar dinding itu dengan tongkat besi yang dibawanya.
Seketika hancurlah dinding itu, dan astaga…
Dengan disaksikan mataku dan Pak satpam, terdapat seseorang didalamnya yang sudah menjadi mayat. Sebagian wajahnya meskipun sudah digerogoti segerombolan belatung dan membuatnya tak utuh, aku masih tetap bisa mengenali sosok tersebut. Seseorang yang telah merawatku bertahun-tahun dengan kasih sayang yang tiada duanya.
“ASTAGHFIRULLAH… BAPAK!!!” pekikku tak kuasa menahan tangis.
Bapak telah menjadi korban rasa iri yang tumbuh di hati teman-temannya, teman-temannya tak rela ketika Bapak mendapatkan honor yang berbeda besar dengan mereka.
“Bapakmu adalah pekerja yang sangat teliti, ramah, dan juga sangat telaten sabar.” Begitulah penuturan dari sang atasan, saat ia memberiku honor Bapak yang terakhir.
Kini teman-teman Bapak di penjara, mereka di hakimi dengan seadil-adilnya. Mereka mendapat balasan akan sifat tamak harta dan iri yang mereka rawat didalam hati mereka. Begitupun aku yang mendapat keadilan atas apa yang mereka perbuat dengan Bapakku.
Aku tak bisa merasakan seberapa sakitnya, ketika Bapak dibunuh lalu dikubur di dinding. Yang aku rasakan saat itu adalah ketenangan hati ketika aku sudah bertemu Bapak, walaupun beliau sudah menjadi seonggok mayat.
Kini 2019, aku berusaha menutup kisah itu dengan mendoakan Bapak setiap harinya. Kini Saatnya aku membuka jendela keterpurukanku untuk bisa berjalan melangkah kedepan tanpa harus melihat kebelakang lagi.
Kesabaran pangkal dari sifat iri dan sifat buruk manapun, aku percaya jika kita merawat sifat sabar maka sifat iri tidak akan sudi untuk singgah di hati.