Beranda » Diskusi Dua Alam

Diskusi Dua Alam

by Salsabil Dhiya al-Azza

Ranju menatap langit-langit kamarnya, melihat tanpa arah. Siluet tajam cahaya lampu tidak ia hiraukan. Jendela kamarnya ia biarkan terbuka, sehingga gerombolan angin menyembul masuk begitu saja melalui lempengan kaca jendela. Peluh dingin tak sedikitpun Ranju rasakan. Ia malah kepanasan.

Tak lama kemudian dengan mata mencongkel-congkel, ia merasa geram. Mencengkram sprei Kasur dengan amarah.

“Arghhh!”

Subuh itu Ranju datang ke desa tetangga untuk pekerjaan yang baru saja ia terima. Ia baru saja tamat SMA, dirinya tidak meneruskan kejenjang perkuliahan dikarenakan kondisi ekonomi. Orangtuanya hanya bekerja sebagai buruh tani, dan penghasilannya juga hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari.

Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Ranju merasa dirinya harus membantu kedua orangtuanya mencari uang untuk biaya sekolah kedua adik Ranju. Ia memiliki paman yang bekerja sebagai tukang panggul, dan Ranju disuruhnya untuk datang ke tempat pamannya bekerja yaitu di desa tetangga tersebut.

Namun, tanah desa tetangga itu tidak merestui pijakan kaki Ranju. Karena ditengah perjalanan, Ranju ditegur oleh pamannya yang kebetulan berlawanan arah.

“Paman, baru saja Ranju ingin kesana,” sahut Ranju. Paman menghentikan mesin motor bebeknya dan memasang raut wajah kecewa. Ia agak sedikit merunduk.

“Ju, maafkan paman. Semua pekerja disana dipecat semua, katanya ada virus berbahaya. Paman juga dipecat, jadi kita semua di rumahkan. Sabar yah, paman juga bingung buat uang makan sehari-hari nanti bagaimana!”

2 Maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Pada 9 April, pandemi sudah menyebar ke 34 provinsi. Termasuk daerah tempat tinggal Ranju. Untuk pencegahan kasus tersebut, masyarakat hanya harus diam dirumah masing-masing. Segala aktifitas dihentikan secara massal karena kebijakan pemerintah.

Ranju menghembuskan nafas berat, keringat dingin mengucur deras dari lehernya yang tipis. Sedingin ini ia masih berkeringat. Benar saja, karena Ranju sudah seminggu hanya diam dirumah sejak pamannya membawa kabar tersebut. Sementara suasana di luar membuatnya tercekik keadaan, orangtuanya masih dipekerjakan, dan kedua adiknya di rumahkan.

“Apa aku mati saja! Dengan begitu orangtuaku akan ringan tanggung jawab.” Tuturnya polos, ia berbicara seakan menantang takdir dan maut.

“Bodoh!” sahut mahluk disampingnya menyibak keheningan.

“Hah! Kamu siapa?” Ranju terbelalak. Ia terkejut melihat sosok makhluk berjubah putih yang memancarkan cahaya, sinarnya sampai membias keseluruh ruang kamar Ranju yang sumpek.

“Gue malaikat, bodoh!”

“Mana mungkin malaikat bisa berkata kotor seperti itu? Aku tidak percaya…”

“Terserah gue dong, mulut-mulut gue. Iri bilang bos?!” celetuk mahluk yang mengaku sebagai malaikat tersebut.

Tiba-tiba, dari samping kirinya muncul juga sesosok makhluk ghaib.

“Iya, jangan percaya deh. mana ada malaikat ucapannya kotor!” Ranju terkejut dengan kedatangan sosok makhluk berjubah merah. Kedatangannya mengundang hawa panas yang sangat membara, Ranju mengelap keringat di dahinya.

“Eh, dasar setan! Maunya ikut campur urusan manusia saja.” Ucap malaikat yang tidak setuju dengan kehadiran setan. Setan sangat tersinggung atas ucapan malaikat, akhirnya pertumpahan bulu pun dimulai.

Dua jam berlalu, Ranju yang semula berniat untuk mengakhiri hidup, malah harus melerai pertikaian antara malaikat dan setan. Dan sekarang ia pasrah, ia memangku dagu merasa bosan. Kamarnya dipenuhi oleh bulu-bulu sayap dari pertarungan antara pihak surga dan neraka. Dari luar kamar, terdengar suara televisi yang sedang menyetel tayangan horor. Suara itu menambah suasana di kamar Ranju menjadi semakin hidup. Malaikat terus saja menyerang setan dengan bulu mautnya, setan pun juga tak mau kalah. Ranju berdiri, ia melangkahkan kaki menuju pintu.

DUG!

“Bisa kecilin suara televisinya tidak?” ucap Ranju penuh amarah, menegur kedua adiknya dengan menggedor pintu. Mereka yang sedang serius menonton film horor, menatap satu sama lain lalu segera mengecilkan volume televisi sambil menggelengkan kepala. Malaikat dan setan ikut terkejut, sekarang mereka berdua terdiam mangu. Hanya Ranju lah yang sekarang berkuasa. Ranju melipat kedua tangan didada dan menatap tajam kearah keduanya.

“Kalian ini siapa? Kenapa tiba-tiba ada dikamarku?” tanya Ranju dengan nada tegas, Ranju mulai mengintograsi kedua mahluk tersebut. “Kamu setan? Dan kamu malaikat? Benar?” mereka berdua mengangguk bersamaan.

“Kalian duduk dulu di sini,” titah Ranju santai. Malaikat dan setan mematuhi perkataan Ranju, sementara Ranju keluar kamar untuk mengambil sepiring pisang goreng dan secangkir kopi hitam yang terdapat di meja makan.

“Eh mau dibawa kemana? Itu punya bapakmu.” Tegur ibunya.

“Ada tamu, alangkah baiknya kita beri suguhan.” Ucap Ranju sambil berpaling kearah kamarnya.

“Tamu! Sejak kapan datangnya? Kenapa aku tiba-tiba merinding yah.” Ibunya merasa risih dan penasaran.

Ranju kembali kedalam kamar, mereka bertiga duduk melingkar. Ranju menaruh sepiring pisang goreng dan secangkir kopi yang tadi ia ambil untuk disajikan ditengah-tengah mereka.

“Silahkan dicicipi,” Ranju berkata layaknya tuan rumah yang sedang menyajikan hidangan untuk tamu-tamunya.

Setan mulai mengambil satu pisang goreng menggunakan tangan kirinya, sedangkan malaikat dengan tangan kanannya. Suasana mulai membaik, Ranju pun memakan bagiannya. Kemudian Mereka bertiga menyeruput kopi hitam yang Ranju bawa secara bergantian.

Sambil masih dalam keadaan mengunyah, malaikat bertanya kepada Ranju.

“Oe, kenapa lo mau bunuh diri?” tanya malaikat mulai balik mengintograsi.

“Karena sudah tidak ada tujuan hidup lagi?!” Ranju malah membalikkan perkataan.

“Payah, gue aja sering gagal tapi tetep hidup sampai kiamat. Masa lo yang hidupnya Cuma sementara didunia malah nyerah sama keadaan!” Setan menyahut sambil memasang raut wajah keren. Malaikat mengiyakan perkataan setan dengan mengangguk.

“Yah, harus bagaimana lagi…” Ranju menceritakan masalahnya dari awal sampai akhir, segenap malaikat dan setan memasang telinga betul-betul dan mendengarkan dengan seksama, dua makhluk ghaib itu manggut-manggut.

“Ju, pisang gorengnya masih ada?” tanya setan ditengah cerita. Ranju menggeleng. Setan menghembus payah, malaikat langsung memukul kepala setan. Menyuruhnya untuk diam. Ranju menatap kosong kearah jendela yang terbuka lebar, ia tidak meneruskan ceritanya.

“Saran gue sih Ju, lo berusaha dulu. Pikir-pikir dulu deh kalau mau mati. Kalau pun lo mau mati sekarang, nggak bisa Ranju. Tuhan belum takdirin lo buat mati di masa muda!”

“Lah, emang lo tau Ranju matinya kapan? Kan Tuhan yang langsung kasih perintah. Dan umur, jodoh, kematian, semuanya Tuhan yang pegang. Hmm, sok tahu lo!” celoteh setan.

“Sttt, kan ini cuma sekedar motivasi aja. Dari pada lo kerjaannya dari tadi cuma makan pisang goreng!” balas malikat, setan hanya menggertak dalam diam.

Ranju terdiam membisu, ia mulai membayangkan jika dirinya mati saat ini juga. Orangtuanya pasti akan sedih dan kecewa. Adik-adiknya pun tidak ada yang mengurus saat orangtuanya bekerja. Bunuh diri, bukan solusi yang tepat untuk memecahkan masalah dan memutus tali kesengsaraan. Bunuh diri malah menambah masalah yang ada semakin menjadi.

Malam menjadi sesak, cemas membeludak, dipenuhi murung dan gelisah yang terik. Tak ada lagi penjelasan omongan, Ranju cemas mengingat keadaan kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia. Sudah tidak kokoh dalam pekerjaan, hanya sekedar membajak sawah dan mereteli padi yang sudah digarap. Biaya sekolah kedua adiknya tidaklah murah, ditambah harus mengikuti kelas online dalam seminggu lagi dan mengharuskan memiliki android. Dan harga android setara dengan harga kebutuhan pangan mereka dalam satu bulan, kira-kira satu juta.

“Lalu, aku harus bagaimana?” tanya Ranju pasrah. Namun kedua makhluk itu hanya terdiam, mereka jadi terbawa arus bimbang Ranju. Kunang-kunang mulai menampakkan dirinya di bawah sinar rembulan. Suara jangkrik biasanya terdengar seperti haluan paduan suara, tetapi sekarang sepi menerpa sangat lama. Sampai-sampai malaikat mulai menguap, merasa bosan dibuat.

“Gue ada ide!” setan mulai angkat bicara. “Gimana kalau lo jadi maling! Kan enak tuh, nggak harus susah-susah daftar. Dimanapun lo berada disitu juga pundi-pundi uang lo…”

“Iya yah!” Ranju tersenyum seram, ia seakan setuju sekali dengan ide setan. Malaikat yang semula mengantuk, jadi membelalakkan matanya dengan tajam.

“Heh, mana bisa. Itu perbuatan dosa Ranju, itu perbuatan sesat!” tegur malaikat. “Banyak pekerjaan halal yang bisa menghasilkan uang. Meskipun tidak seberapa banyak uang yang didapat, tapi itu halal. Tuhan akan memberkahi pekerjaan lo, jika lo bersungguh-sungguh dan senantiasa berdoa. Miskin bukan alasan buat lo menghalalkan segala cara, masih banyak cara agar lo dapat kaya di jalan yang benar.” Ucap malaikat menggebu-gebu, malaikat mendapat tatapan maut dari setan.

“Tapi kerja apa?” Ranju masih tetap dalam pertanyaannya.

“Oe, lo manusia kan? Udah dikasih akal sama Tuhan, bahkan lo lebih sempurna dari kita. Tuhan ciptain otak lo buat berfikir. So, berfikirlah.”

“Tapi, semakin aku berfikir semakin susah untuk temukan jawabannya.” Ranju mengacak-acak rambutnya yang panjang tak terurus.

“Ah dasar manusia! Ribet amat sih hidupnya. Dikasih kesempurnaan sama Tuhan buat berfikir, tapi ga digunain. Malah ngeluh dan putus asa, seakan hidup ini nggak ada gunanya! Dah ah, ribet gue urus masalah yang satu ini. Gue cabut aja dari sini, bye…” setan menghilang dalam sekejap, tinggal tersisa malaikat yang saat ini menyeruput kopi dengan santai.

“Kopinya belum habis?” Tanya Ranju. Malaikat hanya mengangguk.

“Dah ah, gue juga cabut. Lama-lama gue kena vertigo gara-gara lo. Tapi ingat satu pesan gue buat lo, Tuhan nggak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya. Selalu berdoa agar Tuhan bisa tunjukin arah buat lo sukses.” malaikat mengendus kesal sambil mengepakkan sayapnya. Saat itu juga malaikat lenyap dalam sekejap.

Ranju menitikan air mata sambil berfikir keras, seyogianya ia hanyalah manusia biasa. Hanya bisa menerima takdir dari sang pencipta dan menjalaninya dengan ketulusan. Ia menyudahi kesedihannya dengan menghapus air mata, kemudian ia sujud menghadap kiblat sambil memohon agar diberikan jalan keluar. Setelah lama ia bersujud memohon ampunan dan berdoa, Ranju pun melangkah keluar kamar, mendapati ibunya di kursi sedang menjahit celana Ranju yang bolong.

“Bu, ini jam berapa?”

“Jam 12, kenapa emang?”

“Nggak,” Ranju tidak menjelaskan. Ia duduk disamping ibunya sambil menyomot pisang goreng yang masih hangat di atas meja.

“Loh, pisang yang tadi, kemana?”

“Nggak kemana-mana bu.”

“Oh iya, tadi pamanmu datang kemari. Katanya ada lowongan kerja, namanya gorek, eh gojek.” Ranju tersedak, ia langsung memegang tangan ibunya yang sedang memegang jarum benang.

“Beneran bu? Sumpah?”

“Iya, lagian sejak tadi kamu kemana saja?”

Ranju melepaskan tangan ibunya, ia tidak menjawab pertanyaan ibunya dan malah tersenyum lega. Entah sekarang hatinya menjadi sangat tenang, seperti bermuara di sungai yang penuh dengan kenikmatan dan kedamaian didalamnya. Ia tidak gusar lagi, didalam hatinya ia memuji syukur kuasa Tuhan. Ia membenarkan kata-kata terakhir malaikat saat di kamar tadi.

“Bu, tadi Ranju diskusi sama malaikat dan setan loh bu…” terang Ranju membuat ibunya terbelalak kaget.

“Ngaco kamu, mana ada malaikat dan setan bicara sama kamu?!”

“Loh, ibu harus percaya! Pisang dan kopi tadi, kami makan bersama-sama. Apalagi yang paling lahap si setan.”

“Ah kamu ini, ada-ada saja. Bocah edan! Kerjaannya menghayal saja, kerja sana yang benar…” celetuk ibunya.

“iya-iya,” Ranju tersenyum lebar. Entah itu ilusi, hayalan, atau mimpi, tapi Ranju tetap percaya adanya.

Di luar rumah Ranju, tepat di atas rumahnya. Dua mahluk berbeda tempat, sedang tersenyum riang secara bersamaan. Mereka tersenyum puas lalu saling berpelukan.

“Hah! Dasar, setan parasit.” Malaikat tersadar.

“Heh, siapa juga yang mau pelukan sama lo!”

“Dih, dasar SETAN!” malaikat menajamkan perkatannya, membuat setan geram.

“Emang nggak ada ahlak lo!” setan menjambak sayap malaikat, malaikat pun tidak mau kalah, ia menarik tanduk setan dengan keras sampai-sampai hampir lepas dari kepalanya.

Ranju kembali kedalam kamarnya, ia menutup jendela kemudian saat ingin membersihkan lantai, ternyata tidak ada sama sekali bulu bekas peperangan malaikat dan setan tadi. Dan ia berfikir perkataan ibunya adalah benar, yaitu hanya ilusi Ranju saja. Tapi saat ia membaringkan tubuhnya di kasur, ia mendapati dua helai bulu merah dan putih di atas bantal. Ia pun tersenyum sambil menggenggam kedua bulu tersebut.

“Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya.” Ucap Ranju sambil memejamkan mata tertidur.

BACA JUGA

Leave a Comment