Beranda » Perjalanan Jihad untuk Kehidupan

Perjalanan Jihad untuk Kehidupan

by Diki Ahmad

Adzan subuh berkumandang, aku terbangun dan mengambil air wudhu. Aku adalah seorang remaja yang baru saja lulus SMA dan tinggal di lingkungan pondok pesantren. Setiap hari, jika tidak ada jam sekolah,  aku pergi belajar di pondok pesantren yang tidak jauh dari rumahku.

Aku bukanlah seorang santri tulen, karena pada dasarnya aku hanya memfokuskan diri sebagai seorang pelajar. Hal itu dapat diamati dari pola belajarku yang bolong-bolong saat di pesantren. Bagiku, belajar di pesantren hanya untuk mendapatkan keberkahannya saja, bukan ilmunya. Hal tersebut aku jalani karena pelajaran sekolah sudah sangat membingungkan, sehingga tidak cukup waktu dan ruang dalam otak untuk mencerna ilmu-ilmu di pesantren.

Aku mempunyai teman akrab yang bernama Faisal. Faisal adalah salah seorang santri yang mondok di pesantren. Sama sepertiku, Faisal juga bersekolah. Faisal dikenal rajin dan cerdas. Baik keilmuan sekolah maupun pesantren, keduanya Faisal kuasai dengan baik.

Suatu hari, aku diterima kuliah di jurusan Teknik Mesin di salah satu kampus di Yogyakarta. Aku merasa senang, sehingga aku pun bergegas berangkat ke Jogja. Rencananya, selama kuliah aku akan tinggal di indekos. Ternyata, di indekos yang aku huni, notabene penghuninya sering mengadakan halakah-halakah secara tertutup.

Lain halnya dengan Faisal,  Ia diterima kuliah jurusan Sosiologi Agama di salah satu perguruan tinggi keagamaan Islam yang ada di Yogyakarta. Di Jogja,  Faisal melanjutkan mondok sembari aktif dalam organisasi sosial-keagamaan. Bagi Faisal,  berorganisasi adalah cara Ia menambah wawasan dan relasi yang lebih luas.

Awalnya, aku dan Faisal masih sering bertemu di Jogja.  Namun beberapa bulan kemudian, aku yang sering kali mengikuti kegiatan halakah perlahan pandanganku berubah menjadi lebih militan. Aku mulai memiliki pandangan bahwa tidak ada kebenaran di luar agamaku. Selain itu, aku juga berpandangan bahwa orang-orang yang tidak sejalan dengan agamaku adalah kafir yang harus dimusnahkan.

Lama tak bertemu, beberapa bulan kemudian aku mengajak ketemuan dengan Faisal di suatu tempat. Mulanya, saat kami saling bertemu, Faisal tampak heran dengan perubahan penampilanku.

Ia pun bertanya padaku “ada apa denganmu?, penampilanmu sangat jauh berbeda dengan yang aku kenal dulu!”.

Dengan harapan bisa mengajak Faisal mengikuti halakah sepertiku, aku menjawab “aku sudah hijrah, Sal!. Aku ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik”.

“Maksudnya berubah seperti apa?, perubahan bagaimana yang kamu maksud, Kawan?” sahut Faisal dalam keadaan terheran-heran.

“Aku ingin mati syahid, Sal!. Aku merasa hidup ini fana dan hampa, karena pada dasarnya kita sebagai manusia bukanlah apa-apa. Segala sesuatu yang aku kerjakan, entah itu impian, ambisi, capaian, maupun cita-cita, semua itu hanyalah ilusi dan tidak akan kubawa mati. Aku sadar bahwa akhiratlah yang nyata dan abadi. Aku ingin mengajak orang-orang agar menyadari seperti apa yang kini kusadari. Aku ingin berji… ” Jawabku penuh semangat.

Setelah aku bercerita panjang lebar, tanpa basa-basi Faisal langsung mengajakku untuk menemui seniornya di kampus, nama panggilannya “Mas Kariri”. Kebetulan hari itu mas Kariri sedang berada di kawasan pemulung yang berada di Blok O, suatu tempat yang jaraknya sekitar 1 KM dari jembatan Janti. Saat itu, mas Kariri sedang sibuk mengadakan acara santunan kepada kaum dhuafa. Mas Kariri sibuk membagikan sembako kepada mereka yang membutuhkan.

Sambil menyaksikan perjuangan mas Kariri, Faisal juga bercerita kalau mas Kariri itu adalah orang yang cerdas dan berprestasi. Mas Kariri lahir dari keluarga yang pas-pasan, bisa melanjutkan kuliah karena beasiswa, aktif berorganisasi, sering menerbitkan tulisan di media cetak dan online, serta sering menjadi juara dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI). Seketika, aku kagum kepadanya. Bahkan sejak saat itu, aku merasa ingin belajar banyak darinya.

Tidak terasa, telah berjam-jam aku dan Faisal mengamati mas Kariri. Aku melihat sorot mata mas Kariri yang bersinar dengan keriput di atas tulang pipinya, tepatnya setiap kali ia mengangkat otot pipinya dan menggerakkan otot-otot kelopak matanya. Mas Kariri tersenyum dan giginya terlihat setiap kali ia memandangi kaum dhuafa yang bahagia setelah menerima bantuan darinya. Saat itu juga Faisal berkata kepadaku “jika kamu ingin hijrah dan menjadi lebih baik, belajar banyaklah dari mas Kariri!”.

Sejak saat itu, berkat sahabatku Faisal, aku mempunyai pandangan baru yang lebih optimis tentang dunia. Perlahan aku menyadari bahwa hidup harus diperjuangkan. Jihad tidak semata-mata harus mati sia-sia, dalam artian mengorbankan kehidupan di dunia demi kehidupan pascadunia yang secara empiris belum pasti wujudnya. Akan tetapi, lebih dari itu jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, termasuk kebaikan di dunia. Oleh karena itu, aku yang pada dasarnya bukanlah apa-apa merasa mempunyai tanggung jawab besar dalam kehidupan ini. Aku yakin bahwa kehadiranku di muka bumi ini bukan tanpa alasan. Pasti Tuhan telah merencanakan sesuatu. Entah kehadiranku ini akan berdampak besar atau kecil terhadap dunia, aku yakin semua itu tergantung pada seberapa besar perjuanganku saat ini. Maka dari itu, aku tambatkan jiwa dan raga ini untuk belajar, bersosialisasi, bersinergi dengan alam, dan taqorrub kepada Tuhan. Sebab mencintai Tuhan harus pula disertai dengan mencintai ciptaan-Nya. Semenjak saat itu pula, aku bertekad dalam diri bahwa inilah jalan jihadku.

BACA JUGA

Leave a Comment