Beranda » Mengenal Kiai Kholil Bangkalan, Guru Para Kiai Jawab

Mengenal Kiai Kholil Bangkalan, Guru Para Kiai Jawab

by Mutakin al-Marakky

Bagi masyarakat Indonesia, Kiai Kholil Bangkalan dianggap sebagai waliyullah. Secara umum, wali adalah seseorang yang dianggap dekat dengan Tuhan, dan di antara bukti kedekatannya itu dapat diketahui dari sikap dan prilakunya yang tampil sebagai orang yang shaleh, tekun beribadah, sikapnya arif dan banyak membimbing. Sering kali berbuat hal-hal yang luar biasa di mata masyarakat (khoriqul ‘adat) karena karomahnya dan do’a-do’anya terkabulkan dalam waktu yang relatif singkat.

Kiai Kholil dikenal sebagai guru para kiai di tanah Jawa. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbulloh, Kiai Bisri Syansuri, Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Manaf Abdul Karim adalah  para santri yang pernah mereguk kedalaman ilmu Kiai Kholil Bangkalan.

Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam  Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011), Kiai Kholil satu angkatan dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Abdul Karim dan Syeikh Mahfudh, ketika belajar di Mekah pada tahun 1860-an.

Kiai Kholil dikenal sebagai orang yang alim. Ia seorang ahli tata bahasa, sastra Arab, fiqih dan tasawuf. Dalam dunia tasawuf di Nusantara, Kiai Romli mursid Tarekat Qadiriyah wa Narqsabandinyah di Jawa Timur mendapatkan ijazah dari Kiai Kholil.

Kiai Kholil memiliki nama lengkap Muhammad Cholil bin Abdul Latief bin Hamim bin Abdul Karim bin Muharrir al-Bangkalani al-Maduri. Nama ini tertera pada bagian penutup dari salah satu karya tulisnya yaitu kitab As-Silah fi Bayan an-Nikah.

Kiai Kholil lahir pada 20 September 1834 M / 11 Jumadil Akhir 1252 H di Bangkalan, Madura. Ayahnya, yaitu KH. Abdul Latief merupakan seorang kiai Kampung Senenan, Kemayoran, Bangkalan, Madura. Jika ditelusuri lebih jauh, Kiai Kholil masih keturunan Sunan Gunung Djati.

Kiai Kholil semasa kecilnya mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, KH. Abdul Latief. Bakat penguasaan ilmu agama sudah terlihat sejak ia mempelajari al-Qur’an, ilmu fiqih dan nahwu.

Sekitar tahun 1852 sampai dengan tahun 1858, Kiai Kholil pergi ke tanah Jawa untuk menimba ilmu di berbagai pesantren. Di antara pesantren yang dijadikan tempat untuk belajar adalah: Pesantren Bunga Gresik (pimpinan Kiai Sholeh), Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban (Kiai Muhammad Nur), Pondok Pesantren Canga’an Bangil Jawa Timur (Pimpinan Kiai Asyik), Pondok Pesantren Keboncandi Pasuruan (pimpinan Kiai Arif), Pesantren Sidogiri Pasuruhan (Pimpinan Kiai Nur Hasan) dan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Setail Genteng Banyuwangi.

Semasa mudanya Kiai Kholil berhasil menghafal al-Qur’an dan mampu menguasai qiraah tujuh (Qiroah sab’ah). Kiai Kholil juga hafal kitab Alfiyah, yaitu kitab yang menjelaskan tentang tata bahasa. Setelah belajar dari beberapa ulama di Jawa, pada tahun 1859 Kiai Kholil melanjutkan studinya di Mekkah.

Di Mekkah, Kiai Kholil bergabung dengan Komunitas Jawi. Komunitas Jawi adalah sebutan orang-orang Islam yang berasal dari Nusantara yang sedang menimba ilmu (talab al-‘ilm) di Mekkah Mukarramah. Pada akhir abad ke-19, komunitas ini semakin besar. Pada waktu itu, Mekkah memiliki peranan penting bagi pembentukan wacana intelektual Islam di Nusantara. Banyak para santri yang berasal dari Nusantara sengaja datang ke Mekkah untuk memperdalam ilmu Islam.

Di Mekkah, Kiai Kholil hidup mandiri dan sangat sederhana. Ia juga memiliki kebiasaan memakan kulit buah semangka dan meminum air zam-zam. Mengutip dari Zainul Milal Bizawie dalam Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) (2016), untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di  Mekkah, Kiai Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.

Dari kebiasaan menulis dan menyalin kitab, konon kegiatan ini menginspirasi tiga pelajar yang sedang studi di Mekkah untuk mengembangkan kaidah penulisan huruf Arab Pegon. Ketiga pelajar tersebut yaitu Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Shaleh As-Samarani dan Kiai Kholil Bangkalan. Huruf Arab Pegon adalah tulisan Arab yang menggunakan bahasa Jawa, Sunda dan Madura.

Saat berada di tanah suci Mekkah, Kiai Kholil belajar dari ulama bebagai disiplin ilmu. Di antara ulama yang menjadi guru Kiai Kholil yaitu, Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani, Syeikh Ali al-Mishri, Syeikh Umar As-Sami, Syeikh Khalid al-Azhari, Syeikh al-Aththar, dan Syeikh Abun-Naja.

Berbeda dengan Syeikh Nawawi yang lebih memilih menetap di Mekkah, Kiai Kholil memutuskan untuk kembali ke tanah air (Tidak ada catatan waktu terkait kembalinya Kiai Kholil ke Bangkalan). Sepulangnya ke tanah air, Kiai Kholil mendirikan dan memimpin sebuah pesantren di Desa Cengkebun.

Dari hari ke hari santri Kiai Kholil semakin banyak, datang dari berbagai desa di sekitarnya. Setelah putrinya dinikahkan dengan Kiai Muntaha, Pesantren yang ada di Desa Cengkebun itu diserahkan kepada menantunya.

Setelah itu, Kiai Kholil membangun pesantren kembali di daerah Kademangan. Di tempat ini, Kiai Kholil tidak sulit untuk mendapatkan santri. Bahkan santri yang ingin menimba ilmu ke Kiai Kholil datang dari berbagai daerah. Melalui pesantren inilah Kiai Kholil Bangkalan membangun kariernya sebagai seorang ulama terkemuka.

Menurut Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017), Kiai Kholil adalah seorang ulama di jajaran teratas pada awal abad ke-20. Hampir semua ulama terkemuka di Jawa pada waktu itu pernah belajar kepadanya. Dengan pesantren yang didirikannya itu, Kiai Kholil menanamkan semangat pembelajaran yang tumbuh subur di Mekkah ke lingkungan pesantren. Seperti Syeikh Nawawi al-Bantani di Mekkah, Kiai Kholil Bangkalan melalui pesantrennya telah berkontribusi dalam mencetak para ulama.

Dikutip dari NU Online, berikut daftar murid yang pernah berguru kepada Kiai Kholil:

1. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama

2. Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Jombang)

3. Kiai Bisri Syansuri (Jombang)

4. Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri)

5. Kiai Maksum (Lasem)

6. Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta)

7. Kiai Bisri Mustofa (Rembang-Jateng)

8. Kiai Nawawi (Sidogiri)

9. Kiai Ahmda Shiddiq (Jember)

10. Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo)

11. Kiai Abdul Majjid (Pamekasan)

12. Kiai Toha (Pamekasan)

13. Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebon Agung, Sumenep)

14. Kiai Muhammad Hasan (Genggong Proboliggo)

15. Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo)

16. Kiai Khozin (Buduran-Sidoarjo)

Kiai Kholil wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H/24 April 1925 M di Bangkalan, Madura. Sebagai ulama yang kharimastik, Kiai Kholil memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan Islam Indonesia, khususnya masyarakat Madura. Sampai hari ini, makamnya selalu ramai dikunjungi oleh berbagai peziarah dari Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa.

BACA JUGA

Leave a Comment