Pemberitaan di media elektronik maupun media cetak akhir-akhir ini menginformasikan tingkah laku elit politik saat ini tidak mencerminkan bahwa mereka adalah birokrat yang baik. Khususnya bagi para politisi yang tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi. Di berbagai daerah di Indonesia dari tingkat kota sampai tingkat provinsi tidak sedikit walikota dan gubernurnya menjadi pelaku tindakan korupsi. Padahal rata-rata para politisi yang melakukan tindakan korupsi adalah alumni-alumni dari perguruan tinggi yang dianggap oleh masyarakat memiliki etika berpolitik yang baik.
Korupsi menjadi momok yang sangat menakutkan di Indonesia. Para pelakunya sampai diancam dengan hukuman puluhan tahun penjara. Akan tetapi apa yang terjadi, ketika para koruptor menjalani hukuman di penjara, mereka dengan tangan kotornya mensulap ruang penjara menjadi seperti kamar hotel berbintang lima. Dari alat pendingin ruangan (AC) sampai layar televisi LED ada di dalam penjara. Di dalam penjara mereka masih bisa leluasa mengontrol, membayar pegawai lapas agar diberikan fasilitas yang mewah. Ini adalah salah satu contoh perbuatan yang jelas-jelas melanggar hukum.
Yang lebih menyakitkan lagi bagi rakyat Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah para koruptor yang ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mereka pemeluk Islam. Padahal sudah jelas-jelas bahwasannya korupsi adalah perbuatan atau kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Bahkan dalam hadits riwayat Ibnu Majjah, Allah melaknat seseorang yang melakukan suap (risywah) dan menerima suap.
Korupsi dapat diartikan sebagai tindakan pengambilan sesuatu yang bukan haknya. Selain itu definisi korupsi adalah praktik suap menyuap untuk menghalalkan segala cara. Ormas terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memberikan pernyataan yang tegas. Muhammadiyah melalui majelis tarjih dan tajdid memberikan hukuman peringatan, pengasingan sampai penyaliban dan hukuman mati. Hukuman tersebut sesuai dengan berat dan ringannya cara atau akibat yang ditimbulkan. Sedangkan menurut ormas NU, hukuman bagi koruptor yaitu tergantung besar kecilnya kerugian material yang diakibatkan dan juga besar kecilnya kerugian sosial yang diakibatkan oleh para pelaku. Sanksi hukumnya beragam. Dari sanksi hukum nonfisik (pemecatan, denda dan penyitaan) sampai sanksi hukum fisik (potong tangan, dibunuh, disalib, diusir, dam diasingkan).
Melihat sanksi hukuman yang sangat berat bagi para pelaku koruptor, seharusnya para pengemban jabatan bisa meneladani sosok para pendahulu. Dimana para pendiri bangsa ini berpoliti dengan hati nurani. Salah satu yang bisa kita teladani yaitu sosok Mohammad Natsir, pemimpin Partai Politik Masyumi. Mohammad Natsir adalah seorang yang santun dalam berpolitik. Tidak hanya itu, Mohammad Natsir dikenal sebagai berkepribadian yang sederhana. Bahkan kesederhanaannya, seperti dikatakan oleh George McTurnan Kahin (Guru Besar Universitas Cornell), “Mohammad Natsir sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintah”. Kahin melihat sendiri, Mohammad Natsir mengenakan jas bertambal. Bahkan ia hanya memiliki kemeja dua stel yang sudah butut.
Kehidupan sederhana yang dijalankan oleh Mohammad Natsir bukan semata-mata sebagai suatu pencitraan. Setelah Mohammad Natsir tidak lagi terlibat dalam pemerintahan, kehidupannya tetap sederhana. Dan pada akhir jabatannya sebagi Perdana Menteri Mohammad Natsir menyerahkan kendaraan dinasnya, kemudian pulang dengan menggunakan sepedanya. Itulah kesederhanaan Mohammad Natsir, Sang Negarawan besar Republik ini. Mohammad Natsir tidak hanya berkiprah di panggung politik, ia juga adalah seorang pendidik dan pendakwah.
Masa Kecil dan Masa Remaja Mohammad Natsir
Mohammad Natsir kecil lahir pada 17 Juli 1908 di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Mohammad Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Nama atau gelar adat Datuk Sinaro Panjang, didapatkan setelah ia menikah dengan Nur Nahar pada 20 oktober 1934. Ayah Mohammad Natsir bernama Idris Sutan Saripado, seorang yang bekerja sebagai juru tulis kontrolir di masa pemerintahan Belanda. Ibunya bernama Khadijah, dikenal sebagai seorang wanita yang taat memegang nilai-nilai ajaran Islam. Mohammad Natsir menghabiskan masa kecilnya sepertia anak-anak kecil pada umumnya. Terlahir di lingkungan keluarga yang taat beragama, Mohammad Natsir mulai mempelajari agama Islam yang diasuh oleh ulama-ulama di surau-surai di kampungnya.
Menginjak usia delapan tahun, tepatnya pada tahun 1916, Mohammad Natsir mulai bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabiyah. Sebuah HIS swasta yang berada di Padang. Karena ayahnya yang hanya bekerja sebagai pegawai rendah, Mohammad Natsir tidak diterima di HIS yang dikelola oleh pemerintah. Seling beberapa bulan bersekolah di HIS Adabiyah, Mohammad Natsir dipindahakan oleh ayahnya di HIS pemerintah yang baru dibuka. HIS yang baru ini berada di Solok. Tiga tahun kemudian, Mohammad Natsir dipindahkan kembali di HIS Padang, yang dahulu pernah menolaknya. Pada tahun 1923, Mohammad Natsir tamat dari HIS. Setelah menamatkan pendidikan di HIS, Mohammad Natsir melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Sekolah MULO ini setingkat dengan SLTP. Karena nilai-nilai raportnya selalu baik, selama bersekolah di MULO ia mendapatkan beasiswa per bulan. Beasiswa ini diterimanya sampai lulus di MULO pada tahun 1927.
Pada tahun 1927, Mohammad Natsir melanjutkan pendidikan di Algeemen Middelbare School (AMS) di Bandung. Selama tinggal di Bandung, Mohammad Natsir aktif di Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung. Di JIB Mohammad Natsir berkenalan dengan para tokoh-tokoh muda yang nantinya berperan dalam perpolitikan nasional, di antaranya Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem dan Kasman Siongodimejo.
Pemikiran progresif dan reformis Mohammad Natsir semakin berkembang ketika berkenalan dengan Ahmad Hassan, seorang ulama yang dikenal berpaham radikal sekaligus pendiri Organisasi Persatuan Islam (PERSIS). Ialah Fachroeddin Al-Khahiri, yang pertama kali memperkenalkan Mohammad Natsir dengan A. Hassan. Fachroeddin adalah sahabat Mohammad Natsir di AMS, ia bertubuh tinggi dengan suara keras-lantang dan agak emosional, sifatnya penggembira. Mereka berdua sering berkunjung ke rumah A. Hassan untuk bertanya dan membahas soal agama Islam. Bersama dengan A. Hassan pulalah, Mohammad Natsir mengelola majalah Pembela Islam. Sebuah majalah yang berisi tentang pemikiran-pemikiran Islam, dari urusan fikih hingga urusan politik dan kebangsaan. Menurut M.C. Ricklefs, Pada tahun 1931 Natsir menulis artikel-artikel yang menyatakan bahwa Islamlah yang dapat menjadi dasar bagi suatu kebangsaan Indonesia.
Pada tahun 1930, Mohammad Natsir lulus dari AMS dengan nilai yang memuaskan. Oleh karenanya ia berhak mendapatkan beasiswa kuliah di negeri Belanda. Akan tetapi Mohammad Natsir menolak beasiswa yang besarnya Rp.130 per bulan. Ia lebih memilih mendirikan sebuah sekolah kecil. Sekolah kecil ini adalah sebuah lembaga pendidikan Islam modern (PENDIS) yang di dalam kurikulumnya tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, melainkan ilmu-ilmu umum.
Mohammad Natsir di Kancah Politik
Keikutsertaan Mohammad Natsir dalam bidang politik dimulai ketika ia diminta untuk menjadi anggota Partai Sarekat Islam (PSI) oleh Sabirin, ketua PSI cabang Bandung. Karena adanya dualisme dalam tubuh PSI yang membuat partai terpecah belah, Mohammad Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII). Di dalam tubuh PII, Mohammad Natsir terpilih menjadi ketua cabang Bandung.
Pada masa pendudukan Jepang, Mohammad Natsir menjabat sebagai Sekretaris Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). Kemudian MIAI dibubarkan dan diganti oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pasca kemerdekaan Indonesia, Masyumi bertransformasi menjadi sebuah partai politik. Mohamad Natsir terpilih sebagai ketua umum Partai Masyumi dalam Muktamar IV yang di selenggarakan di Yogyakarta pada 15-19 Desember 1949. Di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir, Masyumi tampil sebagai partai terbesar di Indonesia.
Petualangan Mohammad Natsir di kancah politik semakin terasah ketika ia ditunjuk sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tahun 1945. Pada masa kabinet Syahrir, Mohhammad Natsir diangkat sebagai Menteri Penerangan RI. Mohammad Natsir menjabat sebagai Menteri Penerangan RI sejak 3 Januari1946 – 12 Maret 1946 pada kabinet Syahrir I, dilanjutkan pada kabinet Syahrir II (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946) dan kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947), kemudian diteruskan pada kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949). Ketika usia Republik Indonesia yangmasih muda, Mohammad Natsir menjabat menteri penerangan dalam empat kabinet yang berbeda.
Generasi muda saat ini mungkin tidak semuanya mengetahui bahwasannya negera Republik Indonesia pernah terpecah belah menjadi beberapa negara bagian. Pembentukan negara-negara bagian tersebut adalah berawal dari salah satu poin hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB), yaitu pembentukan persekutuan Belanda-Indonesia dan kemudian terciptalah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Di beberapa daerah, muncul negara-negara bagian. Dalang dari terbentuknya beberapa negara bagian adalah seorang mantan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. Van Mook. Dengan strateginya yang licik, Van Mook menciptakan negara-negara boneka demi memecah belah Republik Indonesia. Salah satu di antaranya adalah diproklamasikan Negara Pasundan oleh Soeria Kartalegawa.
Siasat yang dilakukan Van Mook tidak semuanya berjalan mulus. Sebagian rakyat Indonesia tidak puas dengan berdirinya negara-negara bagian. Oleh karenanya banyak rakyat Indonesia menuntut dan melakukan aksi demonstrasi. Rakyat Indonesia menginginkan negara-negara bagian bergabung kembali dan menghapuskan RIS. Terbentuknya negara-negara bagian dianggap sebagai politik yang dilakukan oleh Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. Di samping itu juga, terbentuknya negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita yang dirintis dari semenjak zaman penjajahan sampai Proklamasi Kemerdekaan, yaitu membentuk sebuah negara kesatuan. Melihat keadaan hal seperti ini, Mohammad Natsir selaku anggota DPR-RIS sekaligus ketua Partai Masyumi bertindak dan mengambil langkah inisiatif berdiskusi dengan para pemimpin fraksi-fraksi lain.
Pada tanggal 3 April 1950 di hadapan Sidang Parlemen RIS, Mohammad Natsir menyampaikan pidato. Di dalam pidatonya, Mohammad Natsir menyampaikan pemikirannya yang brilian, yaitu menganjurkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah dalam mewujudkan suatu negara kesatuan. Sebagaimana pernyataan Mohammad Natsir yang dikutip dari buku Waluyo.
“Sekarang ini seluruh wakil rakyat negara bagian manapun semuanya menghendaki terwujudnya negara kesatuan, dalam hal ini tidak ada negara bagian yang satu merasa lebih tinggi dari pada yang lainnya, semuanya sama dari yang lain, marilah negara kesatuan kita didirikan bersama dengan cara semua negara bagian termasuk juga negara RI jogja dilikudasi sama sekali dan marilah atas dasar hak yang sama mosi integral ini sebelum dibicarakan dalam parlemen diperiksa oleh presiden dan menteri, dan parlemen secara aklamasi menyetujuinya.”
Atas pidatonya di parlemen, dan pihak parlemen menerima mosi Mohammad Natsir yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral, maka pihak pemerintah mulai mengambil langkah dan mulai bertindak untuk membentuk suatu negara kesatuan. Dibuatlah suatu piagam yang berisi tentang pembentukan Negara Kesatuan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, secara resmi Indonesia terlahir kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momen yang sangat bersejarah tersebut dikenang oleh rakyat Indonesia sebagai proklamasi kedua Republik Indonesia.
Mohammad Natsir di Panggung Dakwah
Karir politik Mohammad Natsir dimatikan oleh Sukarno karena pendapatnya selalu bersebrangan. Perseteruan pendapat antara Mohammad Natsir dengan Sukarno berujung pembubaran Partai Masyumi pada tahun 1960. Sukarno melalui surat keputusannya membubarkan paksa partai yang dipimpin oleh Mohammad Natsir. Setelah Partai Masyumi dibubarkan, Mohammad Natsir dan politikus Masyumi lebih memilih berdakwah. Tiar Anwar Bachtiar menyatakan:
“Sejak saat itu, Natsir bersama politikus-politikus Masyumi lainnya lebih banyak bergerak di belakang layar. Terlebih setelah Suharto naik, Natsir dan kawan-kawan yang dicap sebagai eksterm kanan benar-benar disingkirkan dari panggung perpolitikan Indonesia dengan berbagai cara. Natsir pun akhirnya lebih memilih menekuni bidang dakwah dengan mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah.”
Diusianya yang tidak lagi muda, setelah bebas dari tahanan politik karena terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, bersama dengan teman-temanya Mohammad Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). DDII didirikan dengan tujuan menjadi suatu lembaga dakwah yang aktif dalam menyerukan akidah dan nilai-nilai Islam. Tidak hanya bergerak dalam bidang Dakwah, DDII yang dinakhodai oleh Mohammad Natsir juga bergerak dalam bidang sosial. Selain itu, DDII dikenal sebagai pembangun masjid di kampus-kampus.
DDII adalah sebuah wadah organisasi Islam yang bergerak dan berperan dalam bidang dakwah di Indonesia. Organisasi yang dimotori oleh Mohammad Natsir ini mempunyai misi menyebarkan syiar Islam sampai ke pelosok nusantara. DDII dianggap sebagai terobosan baru dalam mensyiarkan Islam. Kader-kader DDII dibekali pengetahuan tentang Islam yang kemudian mereka maju kedepan sebagai tonggak dakwah di berbagai daerah.
Sebagai politkus yang santun, ulama yang produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah, Mohammad Natsir juga dikenal sampai ke luar negeri. Berbagai kegiatan dakwah Islam pernah diikutinya. Pada tahun 1956, bersama Syeikh Maulana Abdul A’la al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan an-Nadawi, Mohammad Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Mohammad Natsir juga menjabat wakil presiden Kongres Islam sedunia yang berpusat di Pakistan dan Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi. Bahkan di dunia Internasional, Mohammad Natsir mendukung dengan tegas kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika. Atas pengabdian di dunia Islam, pada tahun 1980 Mohammad Natsir mendapatkan penghargaan internasional dari Yayasan Raja Faisal Arab Saudi.
Mohammad Natsir wafat pada tanggal 6 februari 1993 dalam usia 85 tahun. Atas jasa-jasanya kepada negara, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional terhadap Mohammad Natsir berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.