Dalam sejarah Islam, awal karir Nabi Muhammad Saw dalam bidang militer dimulai sejak beliau berusia lima belas tahun. Nabi Muhammad Saw pernah terlibat dalam perang antara suku Quraisy dan Kabilah Hawazin. Perang tersebut dinamakan perang Fijar. Beliau bertugas mendampingi paman-pamannya untuk mengumpulkan atau memungut anak-anak panah. Perang Fijar ini berlangsung selama empat tahun dan diakhiri dengan perdamaian.
Terdapat beberapa pendapat dalam sejarah Islam terkait jumlah keikutsertaan Nabi Muhammad Saw dalam medan perang. Ada yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya ikut serta dalam medan perang sebanyak sembilan belas kali. Di riwayat lain dikatakan, Nabi Muhammad Saw mengikuti peperangan sebanyak tujuh belas kali.
Menurut Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah: Sejarah Lengkap Kehidupan Nabi Muhammad Saw (2015), Nabi Muhammad Saw mengikuti perang sebanyak 27 kali. Sedangkan menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts dalam Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhammad: Napak Tilas Jejak Perjuangan dan Dakwah Rasulullah (2010), Nabi Muhammad Saw memimpin pasukan perang sebanyak 28 kali. Perang pertamanya adalah Perang Abwa’ dan yang terakhir adalah Perang Tabuk.
Dala syaria’at Islam—Islam mengajarkan dan menjunjung tinggi tentang kedamaian antar umat. Islam tidak membenarkan untuk saling bermusuhan, baik itu karena perbedaan pendapat, ataupun perbedaan keyakinan. Mengapa ada peritah perang dalam Islam? Ketika perintah perang diturunkan, sikap kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi. Mereka bukan hanya menolak ajaran Islam, mereka juga melancarkan serangan dan mulai menghalang-halangi gerakan dakwah. Maka, turunlah perintah perang. (Lihat Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 39 dan Al-Baqarah ayat 190).
Perang yang diizinkan dalam Islam yaitu perang untuk membela diri dan mempertahankan aqidah Islam. Perang yang dilakukan oleh umat Islam yaitu perang yang memperhatikan sisi kstaria (furusiyah). Dalam buku Rasulullah Saw Sang Panglima: Meneladani Starategi dan Kepemimpinan Nabi Dalam Berperang (2019), Mayjen Mahmud Syait Khaththab menjelaskan, perang kstaria (furusiyah) adalah perang kemuliaan yang tidak membolehkan pasukannya terlibat di dalam melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kemuliaan. Karena kemuliaan militer mengharuskan untuk menghormati perjanjian yang telah diputuskan. Misal: tidak boleh menggunakan senjata yang tidak disepakati penggunaannya, atau melakukan perilaku pengkhianat, tidak boleh membunuh dan menyerang siapa pun yang bukan lawan dan tidak boleh menyerang penduduk sipil yang tinggal dengan aman di dalam rumah-rumah mereka. Intinya, tujuan perang dalam Islam bukanlah untuk menyebarkan dakwah, melainkan untuk melindungi kebebasan berdakwah.
Saat menjadi pemimpin militer, ada beberapa sikap Nabi Muhammad Saw yang dapat diteladani. Berikut 5 sikap Nabi Muhammad Saw ketika menjadi pemimpin militer.
Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang berani
Berani adalah kebulatan dan keteguhan hati menghadapi situasi genting dan kalut. Keberanian tidak ada kaitannya dengan tubuh yang kuat atau otot yang kekar. Keberanian bisa saja tumbuh dari orang yang bertubuh lemah. Bayangkan jika keberanian itu terpadu dengan kekuatan tubuh? Perpaduan itulah yang dimiliki Nabi Muhammad Saw.
Keberanian Nabi Muhammad Saw terlihat ketika pertempuran Badar. Pertempuran ini merupakan pertempuran pertama yang menentukan masa depan kaum muslim. Pasukan Nabi Muhammad Saw berjumlah sepertiga dari pasukan musuh. Begitu juga ketika Perang Khandaq, pasukan pimpinan Nabi Muhammad Saw tak gentar menghadapi 10.000 pasukan musuh.
Dalam medan perang, Nabi Muhammad Saw tak pernah melarikan diri. Meskipun ditinggalkan oleh kawan, Nabi Muhammad Saw tetap bertahan di garda depan. Peristiwa ini dapat dilihat ketika Perang Hunain.
Perang Hunain adalah pertempuran antara kaum muslim dengan Suku Hawazin dan Tsaqif. Perang Hunain terjadi pada 10 syawal tahun 8 H. Peperangan ini berawal dari penaklukan Kota Mekkah. Kedua suku tersebut merasa khawatir akan menjadi sasaran penaklukan berikutnya. Walhasil, mereka mengumpulkan kabilah-kabilah untuk menghadapi kaum muslimin.
Mendengar ini, Nabi Muhammad Saw membawa 12.000 kaum muslim. Pasukan muslim mulai bergerak dan berhenti di Hunain. Sebagai Komandan Militer, Nabi Muhammad Saw berada di garis depan. Saat menuruni bukit, pasukan muslim tidak menyadari bahwa di celah-celah bukit terdapat perangkap musuh.
Pasukan muslim dikejutkan dengan serangan dadakan oleh pasukan pemanah dari pihak lawan. Kejadian ini membuat pasukan muslim mulai tercerai-berai. Kaum musyrik terus menyerang dan terus mengejar pasukan kaum muslim. Ketakutan-ketakutan mulai menghantui pasukan kaum muslim.
Menghadapi kekacauan ini, Nabi Muhammad Saw maju ke garis depan menuju ke arah lawan. Nabi Muhammad Saw memerintahkan Abbas untuk memanggil kaum Anshar yang mulai tercerai berai. Satu persatu pasukan kaum muslimin berdatangan, kembali bersatu setelah mendengar paggilan Nabi Muhammad Saw. Pasukan muslim balik menyerang dan menggempur pasukan kaum musyrik. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit. Tak lama berselang, pasukan kaum musyrik mundur dan lari meninggalkan harta benda yang dibawa.
Bayangkan apabila ketika itu Nabi Muhammad Saw hanya bersikap diam, atau beliau lebih memilih mundur mengikuti pasukannya. Hanya saja itu bukan sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw. Kemudian apabila di pertempuran Hunain ini pasukan muslim kalah, maka ini merobohkan iman kaum muslim mekkah yang baru memeluk Islam ̶ sekaligus merobohkan kekuatan muslim yang baru dihimpun setelah peristiwa Fathul Mekkah.
Berkat keberanian Nabi Muhammad Saw dalam memimpin pasukan dan atas pertolongan Allah SWT, maka pertempuran ini dimenangkan oleh pasukan kaum muslim.
Berdo’a dan selalu mengharapkan pertolongan Allah SWT
Saat menghadapi kesulitan, Nabi Muhammad Saw tetap tenang. Begitu juga saat berhadapan dengan situasi genting. Beliau selalu berdo’a, memohon perlindungan dan selalu mengharapkan pertolongan dari Allah SWT.
Ketika Perang Badar yang terjadi pada tahun 2 H, Nabi Muhammad Saw berdo’a dan memohon pertolongan dari Allah SWT. karena pada saat itu pasukan kaum muslim jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan kaum kafir Quraisy. Pasukan kaum muslim hanya berjumlah 313 tentara. Sementara di pihak lawan berjumlah 1300 tentara. Akan tetapi perbedaan yang begitu jauh itu tidak membuat pasukan muslim gentar.
Dalam buku Ketika Rasulullah Harus Berperang (2017), Ali Muhammad Ash-Shallabi menjelaskan, setelah Nabi Muhammad Saw menertibkan barisan pasukannya dan mengeluarkan instruksi-instruksinya kepada pasukan kaum muslim, serta mendorong mereka untuk berperang, maka beliaupun kembali ke singgasana yang dibuatkan untuk beliau bersama sahabatnya Abu Bakar Ash-Shidiq. Di dalam singgasananya itu, Nabi Muhammad Saw tenggelam dalam do’a dan munajat-Nya—hingga pada saat itu selendangnya terjatuh. Kemuadian Abu Bakar Ashidiq pun mengambil selendang itu lalu mengembalikannya kepada kedua bahu Nabi Muhammad Saw.
Peristiwa yang sama juga terjadi ketika Perang Hunain. Nabi Muhammad Saw berdo’a dan mengharapkan pertolongan dari Allah SWT, karena pada waktu itu pasukan muslim mengalami serangan kejutan dari pihak kaum musyrik.
Nabi Muhammad SAW melarang membunuh wanita dan anak-anak dalam perang
Ketika peperangan sedang berlangsung, ada beberapa adab yang mesti ditaati. Nabi Muhammad Saw melarang membunuh wanita dan anak-anak. Peristiwa ini terjadi setelah Perang Hunain yang dimenangkan oleh pasukan kaum muslim. Saat itu Nabi Muhammad Saw mengetahui ada beberapa anak-anak dari kaum musyrik terbunuh. Nabi Muhammad Saw geram, “Kenapa kalian membunuh anak-anak kaum Musyrik?”
Mereka menjawab dan mengira Nabi Muhammad Saw akan puas dengan alasan, “Wahai Rasulullah, mereka hanya anak-anak kaum musyrik.”
Nabi Muhammad Saw marah setelah mendengar jawaban itu. “Apa tak ada pilihan bagi kalian selain anak-anak kaum musyrik ini? Demi Zat yang Muhammad berada dalam genggaman-Nya, setiap bayi lahir fitrah, suci, hingga ia fasih berbicara.” Nabi Muhammad Saw juga terkejut saat melihat seorang wanita terbunuh. Wanita tersebut dibunuh oleh Khalid bin Walid saat perang sedang berkecamuk. Cepat-cepat Nabi Muhammad Saw menyuruh prajurit, “Susul Khalid, katakan bahwa Rasulullah melarang membunuh anak-anak, wanita, prajurit bayaran, budak, dan kakek-kakek.”
Bersmusyawarah sebelum berperang
Sebelum pertempuran dengan pihak lawan, terlebih dahulu Nabi Muhammad Saw dengan para sahabat melakukan musyawarah. Nabi Muhammad Saw membahas strategi militer apa yang akan diterapkan ketika pertempuran.
Nabi Muhammad Saw adalah tipe pemimpin yang terbuka, beliau menghormati pendapat yang diajukan para sahabat.
Misalnya saja ketika menjelang Perang Uhud, Nabi Muhammad Saw menerima keputusan musyawarah untuk menghadang pasukan kaum musyrik di luar kota. Padahal, Nabi Muhammad Saw ketika itu berpendapat untuk bertahan di dalam kota. Meskipun pada saat itu para sahabat menarik usulan tersebut, tetapi Nabi Muhammad Saw tak mengubah keputusan. Nabi Muhammad Saw tetap konsisten dengan keputusan musyawarah yang telah disepakati bersama.
Demikian pula ketika perang Ahzab atau Perang Khandaq, Nabi Muhammad Saw bermusyawarah dengan para sahabat sebelum melakukan tindakan. Setelah itu barulah diambil keputusan atas nasihat yang diberikan oleh Salman al-Farisi. Nasihat Salman al-Farisi yaitu, pertahanan Kota Madinah akan dilakukan di balik parit benteng.
Memaafkan musuh-musuhnya
Memberikan maaf pada saat ia mampu membalas adalah sebaik-baiknya jiwa seorang manusia. Hal ini dapat dilihat dari diri Nabi Muhammad Saw. Pasca Perang Hunain, kaum muslim mendapatkan harta dan tawanan perang yang begitu banyak. Sebanyak 6.000 tawanan perang terdiri dari anak-anak, budak, dan wanita-wanita yang ditinggalkan oleh pasukan kaum musyrik (kaum Hawazin dan Tsaqif).
Melihat begitu banyak tawanan perang yang terdiri dari anak-anak dan wanita, Nabi Muhammad Saw tidak tega untuk menelantarkan, apa lagi menyiksa mereka. Ketika mereka datang untuk meminta maaf, Nabi Muhammad Saw langsung menerima dan memaafkan mereka. Padahal, sebelumnya, pasukan kaum muslimin dihujani oleh ribuan anak panah sampai nyaris binasa.
Maulana Muhammad Ali dalam buku Biografi Muhammad Rasulullah (2015) menyebut peristiwa ini merupakan perjalanan sejarah yang unik. Dimana ketika mereka (tawanan yang dimaafkan dan dibebaskan) masih tetap sebagai penyembah berhala.