Hikayat ini terdapat dalam dari Kitab al-Nawadir karya Syaikh al-Qolyubi, sebuha karya yang sangat digemari dan populer di kalangan para santri di penjuru dunia. judul asli hikayat ini ialah “al-Hikayah al-Rabi’ah: ‘Ibadah al-Sholihin“.
Diceritakan ‘Ashom bin Yusuf mendatangi majlis Syaikh Hatim al-Ashom. Ia berkeinginan untuk beradu argumentasi kepada Syaikh Hatim seraya berkata, “Wahai Abu ‘Abdurrahman (Panggilan lain Syaikh Hatim) bagaimana engkau salat? “.
Kemudian Syaikh Hatim memandang ke arah wajah ‘Ashom bin Yusuf dan menjawab, “Ketika sudah tiba waktu salat, maka aku berwudu dengan wudu zahir dan wudu batin”.
“Bagaimana wudu batin itu ya Syaikh?” ‘Ashom bin Yusuf pun bertanya lagi.
Syaikh Hatim menjawab, “Adapun wudu zahir ialah mencuci seluruh anggota wudu dengan air, sedangkan wudu batin ialah mencuci anggota wudu dengan tujuh perkara. Tujuh perkara itu adalah taubat, penyesalan, meninggalkan cinta dunia, meninggalkan pujian makhluk, meninggalkan keegoisan, dendam, dan hasud. Kemudian aku berangkat ke masjid dan membentangkan anggota salatku. Selanjutnya aku memandang Ka’bah dengan berdiri di antara kebutuhanku dan kewaspadaanku, sedangkan Allah menjadi saksiku, surga ada di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, dan Malaikat maut ada di belakang pundakku.
Kedua kakiku seperti aku letakkan di atas jembatan sirat dan aku berfikir, ini adalah salat terakhirku. Kemudian, aku niat dan takbir dengan ihsan (kebaikan), aku membaca ayat al-Qur’an dengan tafakur, aku rukuk dengan tawadu’ (rendah hati), aku bersujud dengan tadhoru’ (rendah diri), aku bertasyahud dengan segala harapku, dan aku memberikan salam dengan keikhlasan. Maka inilah salatku sejak tiga puluh tahun yang lalu”.
‘Ashom bin Yusuf setelah mendengarkan jawaban Syaikh Hatim, ia pun menangis histeris dan berkata, “Ini adalah suatu amalan yang takkan sanggup dikerjakan selain oleh dirimu, wahai Syaikh Hatim”.
