Suatu ketika ada seorang raja membawa sebuah mutiara pada suatu pertemuan majelis kerajaan. Dia menunjukkan mutiara tersebut kepada seorang menteri sembari bertanya, “Seberapa berhargakah benda ini?”.
“Seratus keledai yang dimuati emas” Sang menteri menjawab.
Lalu sang raja menginginkan sang menteri untuk memecahkan mutiara tersebut. Sang menteri langsung saja menyela, “Bagaimana hamba bisa membelah mutiara yang tak ternilai harganya ini? Bagaimana mungkin hamba bisa merusak harta paduka?”.
Dengan jawaban begitu, sang raja memberikan hadiah sebuah pakaian kepada sang menteri.
Sejurus kemudian, sang raja menanyakan hal yang sama kepada seorang penjual tirai. Penjual tirai tersebut lantas menjawab, “Mutiara berharga layaknya separuh negeri ini.” Penjual tirai itu juga tidak sanggup ketika diminta oleh sang raja untuk menghancurkan mutiaranya. Penjual tirai itu kemudian diberikan hadiah sebuah pakaian dan sejumlah uang.
Pertanyaan serupa diulang-ulang kepada beberapa orang dan sang raja mendapatkan jawaban yang sama. Dia pun kembali memberikan hadiah kepada orang-orang tersebut.
Ketika tiba bergiliran seseorang bernama Eyaz, dia menjawab bahwa mutiara tersebut juga sangat berharga. Akan tetapi, ketika dia diminta menghancurkan mutiara tersebut, Eyaz tidak menolak dan membuat semua orang terpana. Eyaz berkata kepada mereka, “Mutiara atau perintah sang raja yang lebih berharga? Mata kalian bukannya tertuju kepada perintah sang raja melainkan terperangkap oleh keindahan mutiara.”
“Mutiara atau perintah sang raja yang lebih berharga? Mata kalian bukannya tertuju kepada perintah sang raja melainkan terperangkap oleh keindahan mutiara.”
Atas pernyataan Eyaz, sang raja memerintahkan orang-orang yang menjawab untuk dibunuh. Namun Eyaz memotong dan memohon kepada sang raja agar mengampuni mereka. Karena tidak ada tempat berlindung bagi orang-orang tersebut atas kelancangan mereka kecuali pengampunan dari sang raja sendiri.
Dinukil dari Kitab Matsnawi karya Jalaluddin Rumi.