Beranda » Akal Sehat dalam Beragama

Akal Sehat dalam Beragama

by Alwiyan Rakjat Biasa

Terutama saya sebagai seorang muttabi’ (pengikut argumentatif, ittiba’) bukan sebagai mujtahid, atau mungkin bisa jadi saya seorang yang muqollid (pengikut buta, taqlid), tak jarang dalam kehidupan kita dihadapkan oleh suatu pendapat. Ketika kita mempercayai suatu pendapat dari orang lain atau entitas lain, terkadang kita sudah tidak lagi fokus kepada objek apa yang disampaikan, sebab kita terkadang lebih fokus terhadap siapa yang menyampaikan suatu objek tersebut.

Sementara itu, untuk memahami objek apa yang disampaikan tersebut terkadang dalam hal tertentu perlu dipahami melalui tashawwur nadhori (konsepsi teoritis) melalui analisis atau penalaran ilmiah sehingga dalam upaya penilaiannya (tashdiq) bisa maksimal. Di sisi lain, upaya penilaian (tashdiq) sendiri juga tak terhindarkan membutuhkan alat ukur berupa pengetahuan yang konkret dan metode berpikir epistemik untuk menganalisis objek/pendapat tersebut.

Sayangnya tidak semua orang memiliki alat, metode, atau skill berpikir sehingga tak jarang kesimpulan dari pendapatnya menimbulkan kerancuan bahkan perdebatan panjang. Berbicara metode berpikir logis, di pesantren metode tersebut dikenal dengan ilmu mantiq atau dalam dunia kampus dikenal dengan istilah logika. Selain itu, metode berpikir logis sendiri mesti dibarengi dengan pemahaman mulai dari sisi ontologis, epistemologis, sampai aksiologis pada sebuah objek tersebut. Oleh karenanya, jika seseorang tidak memiliki skill berpikir seperti hal diatas, maka patut diduga kesimpulannya tidak benar.

Oleh karenanya, penginderaan dan penalaran terhadap suatu objek atau realitas yang sama bisa melahirkan penafsiran yang berbeda-beda ketika kapasitas, kompetensi, dan kepentingan para penafsirnya berbeda. Yang pasti, suatu kesimpulan itu bukanlah keniscayaan atau senyatanya realitas atau objek itu sendiri akan tetapi hanya sebatas penafsiran saja. Namun, bukan berarti bebas menafsirkan lalu diklaim kebenaran.

Adapun terjadinya perbedaan penafsiran, maka penafsiran yang akurasinya mendekati kebenaran realitas atau objek, hal itu tentu penafsiran yang menggunakan suatu metode yang memiliki standar baku dan ilmiah. Begitupun bagi penafsirnya, suatu keniscayaan harus memiliki kompetensi keilmuan yang terstandar pula.

Begitupun ketika Islam dijadikan sebagai realitas dan sekaligus objek penginderaan serta penalaran, Islam bisa ditafsiri bermacam-macam dan berbeda-beda bahkan seringkali jauh dari realitas Islam itu sendiri ketika yg menafsirinya tidak memiliki kapasitas, kompetensi dan otoritas serta dipengaruhi kepentingannya yang bersifat pribadi.

Singkatnya begini, walau yang paling memahami tentang Allah dan Islam adalah Rosulullah Saw, tetapi tentu hasil penafsiran Imam Syafi’i terhadap agama lebih dipercaya dibanding penafsiran orang yang tidak fasih dan paham dalam berbahasa Arab, belum lagi hawa nafsunya yang menggelora. Bagaimana bisa penalarannya terhadap suatu teks agama dapat menghasilkan penafsiran yang mendekati akurat jika bahasa dalam teks tersebut tidak bisa dipahami? Bagaimana bisa melakukan penilaian suatu perkara dengan benar jika tidak memiliki alat mengukur dan menimbangnya?

Oleh karenanya, lebih baik mengikuti penafsiran para ulama jika kita tidak memiliki alat untuk menafsirkan Islam, yakni ilmu keulamaan, dari pada nampak bodoh hingga menabrak Islam itu sendiri, maka bertanyalah jika tidak mengetahui sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْۤ اِلَيْهِمْ فَسْــئَلُوْۤا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

 

“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An-Nahl 16: Ayat 43).

Wallahua’lam.

BACA JUGA

Leave a Comment