Beranda » Al-Qur’an dalam Pandangan Mulla Shadra

Al-Qur’an dalam Pandangan Mulla Shadra

by Ahmad Fadhil

Kita sudah membaca Al-Qur’an, tapi masih bodoh, jahat, sesat, dan miskin? Apa sebabnya? Mulla Shadra di dalam kitab Mafatih al-Ghayb (Kunci-Kunci Kegaiban) menjawab pertanyaan ini.

Mula-mula, Shadra mengutip ayat Al-Qur’an:

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰ نَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَ يْتَهٗ خَا شِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ الْاَ مْثَا لُ نَضْرِبُهَا لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.”
(QS. Al-Hasyr 59: Ayat 21)

Lalu, Shadra mengutip hadis Nabi Saw:

القرآن غنى لا فقر بعده ولا غنى دونه

Artinya, “Al-Qur’an adalah kekayaan yang tiada kemiskinan setelahnya dan tiada kekayaan tanpanya.” (Al-Kafi, j. 2, h. 605)

Menurut Najafqali Habibi, hadis ini semakna dengan yang diriwayatkan oleh al-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir, j. 1, h. 255, hn. 738:

من قرأ القرآن فهو غنى ولا فقر بعده وإلا ما به غنى

Artinya, “Orang yang membaca Al-Qur’an, maka dia adalah orang yang kaya tanpa kemiskinan setelahnya. Sedangkan jika tidak, maka tiada kekayaan pada dirinya.”

Mulla Shadra, filsuf terbesar dalam sejarah Islam hingga sekarang, menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang kita baca ini adalah obat yang berada di dalam bungkusan. Jika bungkusan atau tirai yang menutupi wajah Al-Qur’an itu disingkap, maka ia akan menyembuhkan semua pengidap penyakit kebodohan, menyegarkan semua orang yang haus kebenaran, dan mengobati semua orang yang terkena penyakit akhlak tercela yang sudah menahun serta kepandiran yang membinasakan. Sebab, Nabi Muhammad Saw sudah menegaskan bahwa “Al-Qur’an adalah obat.”

Penyakit yang membelenggu manusia adalah keterikatannya oleh rantai dosa yang berat yang terbuat dari kecintaan kepada pasangan hidup, anak, kampung halaman, harta, serta syahwat seksual, makanan, kerakusan, dan lamunan yang panjang.

Al-Qur’an turun dari Allah untuk mengobati semua penyakit, namun ia turun dalam kondisi terbungkus oleh tirai. Apa sih tirai yang menutupinya? Shadra menjawab, Tirai huruf dan suara serta jubah kata dan kalimat.

Shadra mengatakan bahwa turunnya Al-Qur’an dalam kondisi ini merupakan rahmat dan belas kasihan Allah agar Al-Qur’an lebih dekat dan lebih mudah dipahami oleh manusia. Sebab, kalau tidak demikian, kalau Al-Qur’an turun tanpa bungkus dan jubah tersebut, maka bagaimana manusia yang tercipta dari debu dapat berhubungan dengan Allah Sang Pencipta debu.

Kalimat, kata-kata, bahkan huruf-huruf Al-Qur’an mengandung makna yang sangat dalam. Laksana lautan, hanya Nabi Muhammad Saw yang dapat menyelam ke palungnya yang paling dalam, sedangkan orang-orang lain akan memahaminya sesuai dengan anugerah yang sudah menjadi jatahnya. Ada orang yang mampu menyelaminya puluhan meter, beberapa meter saja, dan ada juga yang hanya sekadar membasahi kakinya di tepian pantai.

Shadra mengilustrasikan huruf-huruf Al-Qur’an itu sebagai jaring dan biji-bijian yang ditebarkan untuk memikat burung-burung agar terbang ke langit. Tujuan dibentangkannya jaring itu adalah untuk memikat sejenis burung tertentu dengan umpan yang khusus. Maksudnya, semua jenis rezeki ada di dalam Al-Qur’an, tapi rezeki jenis tertinggi hanya dapat diraih oleh orang yang sangat spesial.

Pandangan ini dikuatkan Shadra dengan ayat Al-Qur’an:

وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَا بِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

“Dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS. Al-An’am 6: Ayat 59)

Menurut Shadra, sebagaimana di dalam Al-Qur’an terdapat hakikat-hakikat kebijaksanaan yang menjadi makanan bagi jiwa dan nutrisi bagi kalbu, Al-Qur’an juga memuat pengetahuan-pengetahuan parsial dan obat-obatan formatif berupa kisah-kisah dan hukum-hukum yang dapat dipetik manfaatnya oleh manusia dari kalangan menengah dan awam.

Semua anugerah dan karunia ada di dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an mengandung ajaran yang membawa kepada kesejahteraan di akhirat, juga kesejahteraan di dunia ini seperti ajaran tentang qishash, diyat, nikah, dan waris. Al-Qur’an berisi zat gizi yang bersifat spiritual, juga asupan bagi jasad fisik. Semua ini disediakan Allah sebagai “makanan bagi kalian dan bagi binatang peliharaan kalian (al-Nazi’at: 33)”. Jadi, semua urusan ada penjelasan dan uraiannya di dalam Al-Qur’an.

Tapi, apakah semua orang dapat menikmati suguhan tersebut? Pendiri Mazhab Filsafat yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al-Muta’aliyah atau Filsafat Transenden ini menegaskan, “Jika di dalam hatimu terbentang jalan ke alam malakut, maka engkau pasti akan mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah penjelas bagi segala sesuatu.”

Shadra memang bukan sekadar filsuf. Dia adalah seorang ahli gnostisisme atau irfan, atau yang di Indonesia lebih populer dengan sebutan tasawuf. Selain itu, dia juga ahli tafsir dan ahli hadis. Mazhab filsafatnya menyudahi debat epistemologis dengan penjelasan Paripurna tentang wahyu, akal, dan intuisi, kesemuanya adalah sumber pengetahuan yang tidak dapat dipertentangkan satu dengan lainnya.

Menurut Shadra, wacana-wacana Al-Qur’an itu dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah, kaum spiritualis, dan para wali Allah yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sapaan Al-Qur’an tidak diarahkan kepada orang-orang yang dijauhkan, menentang, dan memungkiri ayat-ayat Allah yang tidak akan mendapatkan apa pun dari Al-Qur’an kecuali kulit-kulit dari lafaz-lafaznya.

Sebab, Allah SWT telah menegaskan:

اِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُوْلُوْنَ

“Sesungguhnya untuk mendengarkannya pun mereka dijauhkan.” (QS. Asy-Syu’ara’ 26: Ayat 212)

Allah SWT juga berfirman:

وَلَوْ عَلِمَ اللّٰهُ فِيْهِمْ خَيْرًا لَّاَسْمَعَهُمْ ۗ وَلَوْ اَسْمَعَهُمْ لَـتَوَلَّوْا وَّهُمْ مُّعْرِضُوْنَ

“Dan sekiranya Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka, tentu Dia jadikan mereka dapat mendengar. Dan jika Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling, sedang mereka memalingkan diri.” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 23)

Selanjutnya Shadra menguraikan pernyataannya itu dengan memberikan contoh figur Abu Lahab dan Abu Jahal. Keduanya tidak memahami Al-Qur’an bukan karena mereka tidak mengerti nahwu, sharaf, dan balaghah, juga bukan karena mereka tuli, buta, dan tidak punya kalbu di dalam ruang dada mereka. Mata mereka melihat, telinga mereka mendengar, dan kalbu mereka ada di dada mereka. Meski demikian, mereka tetap dicap “buta, tuli, dan gagu sehingga mereka tidak dapat menggunakan akal mereka (al-Baqarah: 171)”, karena:

فَاِ نَّهَا لَا تَعْمَى الْاَ بْصَا رُ وَلٰـكِنْ تَعْمَى الْـقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

“Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj 22: Ayat 46)

Hati orang-orang yang bukan Ahlul Qur’an itu buta sehingga tidak dapat melihat cahaya, akal mereka tuli sehingga tidak dapat mendengar peringatan Allah, dan ruh mereka gagu sehingga tidak dapat memohon kedekatan dengan Sang Kekasih Pertama.

Shadra mengutip hadis Nabi Muhammad Saw yang menurut Najafqali Habibi, penyunting kitab Mafatih al-Ghayb, telah dikutip oleh Syaikh al-Akbar Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi di dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah j. 1, bab 12, halaman 147:

لولا تزييد في حديثكم و تمزيح في قلوبكم لرأيتم ما أرى ولسمعتم ما أسمع.

Artinya, “Kalau bukan karena sikap berlebih-lebihan dalam kata-kata kalian dan gurau-canda di hati kalian, maka kalian pasti akan melihat apa yang aku lihat dan kalian pasti akan mendengar apa yang aku dengar.”

Meskipun Abu Jahal dan para penyair Arab pada masa Jahiliah merupakan pakar bahasa Arab, tapi mereka tidak dapat mendengar satu pun huruf Al-Qur’an dan tidak dapat memahami satu pun kosa kata Al-Qur’an. Penyebabnya, mereka tidak memiliki indera batin yang ada di balik indera zahir mereka yang sehat. Hal ini disebabkan oleh jelaga-jelaga yang mengotori hati mereka dan sempit dan gelapnya dada mereka laksana kuburan. Mulla Shadra menegaskan, “Kulit hanya dapat menyentuh kulit, cahaya hanya dapat disentuh cahaya.”

Al-Qur’an adalah anugerah Allah Yang Mahakaya, Mahakuasa, dan Mahaluhur bagi manusia yang sangat rendah, lemah, hina, dan penuh kelalaian. Menurut Shadra, Allah mengirim para nabi dan menurunkan kitab-kitab suci sebagai rambu dan Titian dari bumi ke langit.

Shadra menyatakan bahwa hidup manusia yang sesungguhnya adalah hidupnya di akhirat. Tapi, sebelum sampai ke sana, manusia harus melewati dunia. Hubungan antara akhirat dengan dunia ini laksana hubungan buah dengan pohon, makhluk hidup dengan mani, serta tujuan dengan gerakan.

Allah SWT menciptakan benda-benda langit dan dunia demi manusia. Dia juga menciptakan di dalam diri manusia itu motif fisikal dan spiritual serta dorongan syahwat dan emosi, sebagai alat bagi manusia dalam perjalanannya naik ke negeri asalnya, pulang ke kampung halamannya, dan masuk ke jalan Allah untuk menyaksikan kebesaran-Nya.

Manusia adalah buah dari alam wujud. Segala sesuatu tercipta untuknya dan dia diciptakan untuk Tuhan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56)

Di dalam riwayat diterangkan:

خلقت العالم لكم وخلقتكم لأجلي

Artinya, “Aku menceritakan alam untuk kalian dan Aku menciptakan kalian untuk-Ku.”

Di bagian akhir subbab ini, Shadra mengingatkan lagi bahwa Al-Qur’an adalah tali Allah yang kukuh yang diturunkan dari langit ke bumi untuk keselamatan manusia yang sedang terbelenggu di jurang dunia dan di tempat pembuangan setan. Karena itu, Shadra berpesan, “Iqra’ wa irqa’. Bacalah Al-Qur’an dan mendakilah di titian spiritual. Renungilah maknanya dan tercerahkanlah olehnya. Naiklah agar engkau dapat berkumpul dengan Keluarga Thaha dan Keluarga Yasin, yakni Keluarga Nabi Muhammad Saw. Jika tidak, maka engkau akan tenggelam di lautan kegelapan, dibakar di neraka, dipatuk ular, dan disengat kalajengking.”

Rujukan: Shadr al-Din Muhammad al-Syirazi Mulla Shadra, Mafatih al-Ghayb, Ed. Najafqali Habibi, Teheran: Bunyad Hikmat Islami, 1386 HS, jilid 1, halaman 18-23.

BACA JUGA

Leave a Comment