Indonesia menjadikan demokrasi sebagai tata cara dalam hidup bernegara dan berbangsa. Praktik demokrasi yang praktis terlihat dalam
pemilihan umum yang dimulai dari tingkat desa hingga nasional, di situlah suara rakyat setara tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, atau pun agama. Di tingkat desa, pemilihan umum dikenal dengan akronim pilkades atau pemilihan kepala desa. Dalam pilkades inilah setiap orang punya hak yang sama untuk dipilih dan memilih pada tingkat daerah. Pilkades seharusnya menjadi momen pesta demokrasi tingkat desa yang mesti dalam pemilihannya dilakukan secara mandiri dan tanpa ada paksaan. Akan tetapi sejauh perjalanan demokrasi kita, sudah menjadi hal lumrah pilkades menjadi panggung imin-iming lima tahunan sehingga menjadikan pilkades tidak bermartabat.
Selain itu, pilkades juga menjadi ajang black campaign yang berisi cemoohan dan fitnah. Black campaign terus mengalir, hal ini menunjukan tradisi kita mendekati demokrasi liberal atau kita sebut “hantam-kromo”; bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Di Negara kita, memang tidak alergi dengan kebebasan menyatakan kritik. Namun, setiap kebebasan mestilah punya batas, dan batas kebebasan dari demokrasi adalah kemaslahatan.
Dewasa ini, pemilihan umum yang terjadi di negara kita selalu dijadikan sebagai ajang elevasi orang-orang semenjana (mediocre) untuk meraih kedudukan tinggi dengan menyikut orang-orang yang berprestasi. Akhirnya panggung politik hari ini diwarnai hal remeh-temeh. Jabatan menjadi pasar transaksional padat modal sampai-sampai kesenjangan jauh membentang antara idealitas demokrasi pancasila dan realitas yang terjadi. Kemelut yang menimpa politik desa ini melengkapi kesempurnaan krisis demokrasi di Indonesia.
pemilihan umum yang terjadi di negara kita selalu dijadikan sebagai ajang elevasi orang-orang semenjana (mediocre) untuk meraih kedudukan tinggi dengan menyikut orang-orang yang berprestasi. Akhirnya panggung politik hari ini diwarnai hal remeh-temeh.
Krisis demokrasi yang terjadi, bukan hanya pada kalangan elit tetapi juga masyarakat sendiri sebagai pemilih yang semestinya terjauhkan dari sikap golput (golongan penerima uang tunai) dan kalangan NPWP (nomor pira wani pira)”, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, pemilih semakin berbondong-bondong mengikuti tradisi money politic. Hal ini memperlihatkan mental masyarakat Indonesia masih tergadaikan dengan materi. Singkatnya, mengalami degradasi moral yang mengakibatkan pilkades tidak bermartabat.
Degradasi moral yang terjadi dalam pilkades sudah menjamur di seluruh daerah. Tradisi money politic ini mesti segera diobati dengan menjadi kan masa lalu yang penuh tradisi-tradisi kotor sebagai pelajaran. Mengutip ungkapan Carl Jung, seorang psikolog neo-freudian yang berpandangan jika masa kini tidak hanya ditentukan oleh masa lampau, tetapi juga oleh masa mendatang. Karena masa mendatang bisa menjadi kurator untuk tradisi-tradisi buruk, yakni dengan cara membumikan revolusi mental yang sejati.
Revolusi mental tersebut, tidaklah lahir datang sebagai tiban, melainkan melalui proses belajar melalui tahap per tahap. Awalnya revolusi mental digagas oleh sang proklamator indonesia; Soekarno. substansi dari revolusi mental ini menurut Soekarno adalah perubahan cara berpikir, cara kerja, cara berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan kemajuan dan amanat kemerdekaan. Lalu, dari manakah usaha revolusi mental itu harus dimulai? Ya, revolusi mental paling efesien adalah dari perpustakaan. Belajar dari sejarah, peradaban-peradaban dahulu bisa maju, sebagai salah satu penyebabnya adalah semangat membaca yang kuat. Pada abad duapuluh, para psikolog sudah melakukan penelitian-penelitian tentang bagaimana prilaku, pola berpikir, sikap, tingkah laku, dan motivasi diri sebagai individu bisa terbentuk melalui membaca.
Coba kita lirik abad keemasan Islam pada masa kekhalifahan Abbasiyah, kita akan menemukan pengaruh besar dari sebuah perpustakaan yakni mega perpustakaan Bait al-Hikmah yang didirikan oleh Harun al-Rasyid. Perpustakaan ini diperhatikan serius oleh pemerintah negara yang akhirnya menjadi sebuah perpustakaan yang menarik dan meningkatkan minat baca masyarakat muslim waktu itu. Memang berbeda dengan perpustakaan-perpustakaan yang ada di negara kita yang sepi buku bagus dan sepi pengunjung. Akhirnya, perpustakaan di negara kita menjadi “perpustakaan ala kadarnya”. Padahal kita semua menginginkan perpustakaan yang paripurna untuk menunjang kemajuan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam politik., bukan “perpustakaan ala kadarnya”.
Perbedaan yang paling signifikan antara “perpustakaan ala kadarnya” versi Indonesia dengan Mega Perpustakaan Bait al-Hikmah adalah perhatian pemerintah. Mega Perpustakaan Bait al-Hikmah langsung diback-up oleh pemerintah dan tak tanggung-tanggung Bait al-Hikmah juga dijadikan laboratorium penelitian, pusat kajian, lembaga penerjemahan dan percetakan, dan tempat kongkow para cendekiawan yang dibiayai langsung oleh pemerintah. Lalu bagaimanakah pemerintah Indonesia dengan “perpustakaan ala kadarnya” itu? Ya, pemerintahnya saja mungkin banyak yang tidak suka ke perpustakaan apalagi membiayai kegiatan-kegiatan seperti yang dilakukan pemerintah Abbasiyah kepada Bait al-Hikmah.
Ya, pemerintahnya saja mungkin banyak yang tidak suka ke perpustakaan apalagi membiayai kegiatan-kegiatan seperti yang dilakukan pemerintah Abbasiyah kepada Bait al-Hikmah.
Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan paripurna sangat berefek pada sistem politik dinasti Abbasiyah, terutama dalam etika politik ideal. Tetapi bagaimana jika perpustakaan dibumihanguskan? seperti pasca invasi mongol pada masa dinasti Ababsiyah yang melakukan penjarahan, pembakaran buku-buku di hampir seluruh perpustakaan negara. yang pada akhirnya berefek besar pada dinasti Abbasiyah sampai mengalami disintegrasi kebangsaan.
Jika perpustakaan masih dianaktirikan di negara ini, bagaimana tidak degradasi moral semakin merebah ke pelosok-pelosok desa. Perpustakaan akan kehilangan fungsinya sebagai rumah makan bagi jiwa-jiwa yang merindukan kebajikan dan kebijakan. Sedangkan jika rumah makan itu kotor, tidak nyaman, dan tidak menarik karena tidak diperhatikan. Lalu dari manakah jiwa-jiwa itu mencari asupan makanan? Wajar saja, pilkades kita menjadi tidak bermartabat, karena dalam proses dalam pesta demokrasi itu, mulai dari pemilih ataupun yang dipilih berisi manusia dengan jiwa-jiwa yang kelaparan dari kebajikan dan kebaikan.
Hal ini membuktikan perpustakaan dapat dikatakan memiliki peran penting dalam kehidupan bernegara. Mungkin tidak berlebihan, jika perpustakaan disebut rumah makan politik yang sejati, terutama dalam membangun etika politik ideal. Perpustakaan memberikan minuman-minuman yang melepas dahaga-dahaga politik yang kelelahan karena teriknya tradisi-tradisi kotor dalam politik dan melancarkan pembuangan dari racun-racun perusak demokrasi. Inilah benang merah hubungan perpustakaan dengan pilkades, perpustakaan sebagai rumah makan jiwa yang menerima pesanan untuk pilkades yang lebih baik. Rumah makan ini bersi menu-menu yang menyehatkan, menyegarkan dan mampu mengobati mental-mental “maling” dalam pikiran masyarakat Indonesia.
Harus kita sadari bersama bahwa mewujudkan perpustakaan paripurna harus dilakukan bersama dengan penuh kesadaran dan komitmen yang kokoh. Perpustakaan paripurna adalah tempat untuk menggembleng manusia agar menjadi manusia paripurna, berhati suci, memiliki semangat yang menyala-nyala, dan bermental baja. Ketika rakyat memiliki jiwa-jiwa yang tidak lagi kelaparan dan penyakit-penyakit yang menjangkit demokrasi sudah terobati , maka pilkades pun akan sehat. Karena kesehatan pilkades berjalur lurus dengan kesehatan pelaksananya. Bagaimanapun, pilkades yang sehat juga lahir dari pemilih yang “sehat” bukan?