Manusia menganggap diri mereka lebih mulia daripada binatang dan berhak untuk memperbudak binatang untuk berbagai keperluan mereka, seperti dijadikan tunggangan, pembawa beban, bahan makanan dan pakaian, atau dipekerjakan di sawah, ladang atau lainnya. Para binatang telah membantah anggapan ini dengan dalil-dalil yang sangat kuat.
Manusia berargumentasi dengan dalil keagamaan, yakni mengutip ayat-ayat Al-Qur’an. Para binatang, lewat bagal yang mereka angkat sebagai juru bicara, mengatakan bahwa manusia salah paham. Tafsiran yang benar terhadap ayat-ayat itu, menurut para binatang, tidak mendukung klaim manusia. Manusia lalu berdalil dengan argumentasi rasional dan filosofis. Jubir binatang mengatakan bahwa lewat dalil itu terlihat bahwa manusia hanya dapat melihat segi yang remeh remeh dan luput dari makna yang lebih dalam dan halus.
Apa argumentasi dalil manusia? Apa bantahan binatang?
Dalil keagamaan keutamaan manusia atas binatang
Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang digunakan manusia untuk menunjukkan bahwa mereka diciptakan Tuhan sebagai tuan bagi para binatang. Dalil-dalil ini dibantah oleh para binatang. Perbantahan antara manusia dengan para binatang ini konon memang terjadi setelah manusia menerima dakwah Islam sehingga mereka dapat berseteru dengan sama-sama merujuk kepada Al-Qur’an. Di antaranya:
وَالْاَ نْعَامَ خَلَقَهَا ۚ لَـكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ وَّمَنَا فِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ وَتَحْمِلُ اَثْقَا لَـكُمْ اِلٰى بَلَدٍ لَّمْ تَكُوْنُوْا بٰلِغِيْهِ اِلَّا بِشِقِّ الْاَ نْفُسِ ۗ اِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ وَّا لْخَـيْلَ وَا لْبِغَا لَ وَا لْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةً ۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat dan sebagiannya kamu makan. Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Nahl: 5-8)
Juga firman Allah:
وَ اِنَّ لَـكُمْ فِى الْاَ نْعَا مِ لَعِبْرَةً ۗ نُسْقِيْكُمْ مِّمَّا فِيْ بُطُوْنِهَا وَلَـكُمْ فِيْهَا مَنَا فِعُ كَثِيْرَةٌ وَّمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ وَعَلَيْهَا وَعَلَى الْـفُلْكِ تُحْمَلُوْنَ
“Dan sungguh pada hewan-hewan ternak terdapat suatu pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari (air susu) yang ada dalam perutnya, dan padanya juga terdapat banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan. atasnya (hewan-hewan ternak), dan di atas kapal-kapal kamu diangkut.” (Al-Mu’minun: 21-22)
Jubir binatang tidak menganggap semua ayat itu mengandung bukti bagi anggapan manusia bahwa manusia adalah tuan atas mereka dan mereka adalah budak bagi manusia. Sebab, di dalam Al-Qur’an juga ada ayat yang menunjukkan bahwa matahari, bulan, awan, dan angin itu ditundukkan oleh Allah bagi manusia. Tapi, tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang menganggap bahwa manusia adalah tuan bagi benda-benda tersebut.
Di dalam bantahan itu para binatang merujuk ke banyak ayat taskhir, yaitu ayat yang menunjukkan bahwa Allah SWT menundukkan sesuatu untuk manusia. Di antaranya:
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ ۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَ جَلٍ مُّسَمًّى ۗ يُدَبِّرُ الْاَ مْرَ يُفَصِّلُ الْاٰ يٰتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَآءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُوْنَ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ دَآئِبَيْنِ ۚ وَسَخَّرَ لَـكُمُ الَّيْلَ وَا لنَّهَا رَ
Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. (Ibrahim: 32-33)
Menurut bagal si jubir binatang, tafsir yang tepat untuk ayat-ayat tersebut adalah Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu baik di langit maupun di bumi, lalu menjadikan kesemuanya saling tunduk satu dengan lainnya agar satu sama lain saling memberikan manfaat dan melindungi dari bahaya. Jadi, tidak benar bahwa manusia adalah tuan, sedangkan binatang adalah sesuruhannya.
Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu baik di langit maupun di bumi, lalu menjadikan kesemuanya saling tunduk satu dengan lainnya agar satu sama lain saling memberikan manfaat dan melindungi dari bahaya.
Dalil rasional keutamaan manusia atas binatang
Setelah dalil keagamaan yang manusia ajukan tidak menguatkan klaim mereka, maka mereka beralih kepada dalil filosofis, yaitu manusia itu memiliki bentuk badan yang bagus, struktur tubuh yang sempurna, panca indera yang baik, pengamatan yang cermat, jiwa yang cerdas, dan akal yang unggul. Manusia menyangka bahwa tegaknya tubuh dan duduk lurus adalah keistimewaan para raja, sedangkan membungkuk dan bersimpuh adalah ciri para budak.
Jubir binatang kembali mengatakan bahwa hal-hal yang tersebut juga tidak mengindikasikan manusia lebih mulia daripada binatang. Allah SWT menciptakan manusia dalam kondisi tersebut bukan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah tuan dan menciptakan binatang dalam kondisinya bukan untuk menunjukkan bahwa binatang adalah suruhan. Allah SWT menciptakan semua makhluk dalam bentuk yang terbaik dan paling maslahat untuk masing-masing makhluk sesuai dengan dasar ilmu dan hikmah-Nya.
Dengan kata lain, menurut bagal, bentuk tubuh manusia adalah bentuk yang terbaik bagi manusia dan bentuk tubuh setiap binatang juga merupakan bentuk yang terbaik baginya. Tubuh manusia itu telanjang, yakni tanpa bulu dan kulit yang tebal yang melindungi mereka dari panas dan dingin. Karena manusia makan buah-buahan dan menjadikan daun sebagai alas tidur, sementara pepohonan tumbuh tegak, maka Allah menciptakan tubuh mereka tegak juga agar mereka mudah memetiknya. Sedangkan binatang, karena makanan mereka rumput, maka tubuh mereka diciptakan membungkuk agar dapat menjangkaunya dengan mudah. Jadi, tegaknya tubuh tidak lebih baik daripada bungkuknya binatang.
bentuk tubuh manusia adalah bentuk yang terbaik bagi manusia dan bentuk tubuh setiap binatang juga merupakan bentuk yang terbaik baginya.
Pada poin ini, manusia kembali berdalih dengan dalil Al-Qur’an. Mereka mengutarakan firman Allah SWT:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِ نْسَا نَ فِيْۤ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Al-Tin: Ayat 4)
Jubir binatang mengatakan bahwa makna ayat itu adalah Allah SWT menciptakan manusia dalam keharmonisan yang sempurna sesuai kondisi mereka. Dia tidak membuat mereka terlalu jangkung atau terlalu pendek, tapi seimbang. Begitu juga dengan binatang.
Manusia menganggap penjelasan binatang itu berlebihan. Tubuh binatang dalam pandangan manusia tidak seimbang dan selaras. Unta, misalnya, memiliki lidah yang besar dan tebal, leher yang panjang, telinga yang kecil; sedangkan unta tubuhnya besar, telinganya besar, dan matanya kecil.
Jubir binatang mengatakan bahwa manusia tidak dapat menangkap makna yang indah di balik bentuk-bentuk binatang tersebut. Bahkan, dengan mencela bentuk penciptaan binatang itu, berarti manusia telah mencela Penciptanya. Semua makhluk diciptakan oleh Tuhan Yang Mahabijaksana, dengan hikmah dan alasan yang hanya diketahui oleh-Nya dan para ilmuwan yang mendalam ilmunya.
Semua makhluk diciptakan oleh Tuhan Yang Mahabijaksana, dengan hikmah dan alasan yang hanya diketahui oleh-Nya dan para ilmuwan yang mendalam ilmunya.
Unta panjang lehernya agar sesuai dengan kakinya yang panjang sehingga dapat menjangkau rumput di tanah dan agar lidahnya dapat menjangkau dan menggaruk semua bagian tubuhnya . Belalai gajah yang panjang adalah kompensasi lehernya yang pendek. Telinga gajah yang besar berfungsi mengusir lalat dan rongo dari mata dan mulutnya karena mulutnya selalu terbuka dan tidak dapat tertutup karena terhalang oleh gadingnya, dan gadingnya ini adalah senjata untuk menghalau musuh.
Indera yang baik yang kalian banggakan, kata jubir binatang, bukan keistimewaan kalian, wahai manusia. Bahkan, banyak binatang yang inderanya lebih baik. Unta dapat melihat ke mana kakinya harus melangkah walaupun sedang gelap gulita, sedangkan kalian harus dibantu pelita. Kuda dapat mendengar suara langkah di kejauhan di kegelapan malam. Kalau kalian mengaku akal kalian lebih unggul, maka aku tidak melihat buktinya. Sebab, sampai sekarang, kalian hanya membanggakan keunggulan yang semu, yaitu keunggulan bentuk tubuh. Manusia yang berakal seharusnya membanggakan prestasinya berupa teknologi, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan keadilan.
Lalu, manusia menggunakan senjata terakhirnya bahwa mereka lebih mulia dari binatang karena mereka telah merawat serta dapat memperjualbelikan binatang. Si Bagal mengatakan, dalam sejarah perang, pemenang memperbudak pihak yang kalah. Orang Persia pernah memperjualbelikan orang Romawi, dan sebaliknya. Orang Arab, Kurdi, dan Turki juga pernah saling memperjualbelikan. Menang dan kalah terjadi bergiliran. Lalu, siapa yang benar-benar tuan dan siapa sahaya?
Dan jika kalian merawat binatang, itu bukan karena kalian benar-benar sayang, tapi kalian takut kami mati, lalu kalian mengalami kerugian dan kehilangan manfaat dan kesenangan dari para binatang.
Jin yang menjadi hakim dalam perdebatan itu melihat bahwa argumentasi binatang lebih kuat dan akan memutuskan untuk memerintahkan manusia untuk melepas para binatang yang mereka pelihara. Tapi, para binatang tidak dapat bebas karena usai perdebatan tersebut manusia tetap mengunci kandang dan sangkar yang mengurung para binatang.
Kisah ini terdapat di dalam Rasa’il Ikhwan al-Shafa jilid 2, risalah ke-8, atau ke-21 secara keseluruhan, h. 152-168. Edisi digital kitab ini dapat diunduh dari situs wxww.hindawi.com. Ikhwan al-Shafa bukanlah nama orang, tapi nama sebuah kelompok diskusi pada abad 10 Masehi di Bashrah dan Baghdad yang nama-nama anggotanya dirahasiakan. Abu Hayyan al-Tawhidi adalah orang yang berjasa mengenalkan sebagian nama anggota komunitas ini. Di dalam bukunya al-Imta’ wa al-Mu’anasah, al-Tawhidi menyebut lima nama anggota Ikhwan al-Shafa, yaitu Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Bisti, al-Maqdisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zunjani, Abu Ahmad al-Mahrajani dan al-‘Awfi.
Zaki Najib Mahmud, seorang filsuf dan sastrawan Mesir modern, di dalam al-Ma’qul wa al-La Ma’qul Fi Turatsina al-Fikri, h. 196-207, mengatakan bahwa kisah pengadilan manusia dengan binatang ini menarik untuk dianalisa baik dari sudut pandang ilmu biologi, sastra, bahkan sejarah, karena tokoh-tokoh yang ada di dalam kisah ini boleh jadi menjadi simbol dari pihak-pihak yang berseteru pada masa tersebut.
1 comment
Terimakasih banyak pak Fadhil atas ilmunya, walau saya hanya bisa belajar secara jarak jauh dan virtual di dunia maya, saya selalu berharap bisa menjadi murid bapak, semoga keberkahan ilmu dari wasilah bapak bisa tercurah dan dipahami dengan baik oleh saya.