Beranda » Jika Tuhan Maha Adil, Mengapa Ada Banyak Penderitaan di Dunia?

Jika Tuhan Maha Adil, Mengapa Ada Banyak Penderitaan di Dunia?

by Ahmad Fadhil

Jika Allah Mahaadil, mengapa banyak penyakit, kejahatan, kezaliman, bencana, dan kekurangan dibiarkan-Nya tersebar di masyarakat? Jika Dia Maha Penyayang, Dia tidak mungkin menghendaki hal itu. Jadi, mungkin Dia tidak menghendaki hal itu karena Dia Mahawelas asih, tapi Dia tidak mampu menghilangkannya. Atau, mungkin juga Dia mampu menghilangkannya karena Dia Mahakuasa, tapi Dia tidak menghendaki. Berarti, Dia tidak Maha Penyayang.

Tulisan ini akan menjawab pertanyaan ini dari dua aspek. Pertama, dari aspek filsafat moral karena pertanyaan ini bertujuan membangkitkan keragu-raguan terhadap keberadaan Tuhan atau bahkan mengingkarinya sama sekali. Kedua, dari aspek teologis karena orang yang pikirannya dihantui pertanyaan ini boleh jadi menerima keberadaan Allah, tapi keberadaan berbagai kejahatan, keburukan, atau kekurangan di alam semesta ini membuatnya tidak mempercayai kemahaadilan Tuhan.

Iman kepada Tuhan, Atheisme, dan Moralitas

Pada segi yang pertama, diskusi tentang atheisme dan iman kepada Tuhan sangat berkaitan dengan filsafat etika. Salah satu pertanyaan terpenting yang segera mencuat adalah mungkinkah manusia membangun pondasi yang kuat bagi moralitas jika mereka tidak mempercayai keberadaan Tuhan? Maryoritas orang yang beriman meyakini bahwa hal itu tidak mungkin. Mengingkari adanya Allah sama dengan mengingkari dasar moralitas yang objektif atau menghilangkan rujukan bagi nilai-nilai yang mengatur kehidupan.

Karimah Duz mengatakan ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji perilaku manusia yang seharusnya, bukan perilaku manusia apa adanya; tidak melihat dunia apa adanya, tapi mencari dunia yang lebih baik dan lebih sempurna; membahas nilai-nilai ideal yang tidak mesti telah terwujud secara aktual. Prinsip seperti ini tidak dapat diberikan sains karena sains mendeskripsikan alam semesta apa adanya. Jadi, wilayah kajian ilmu akhlak berbeda dengan sains.

Ada dua kemungkinan yang dapat dijadikan kriteria moral. Pertama, perspektif personal dari satu atau sekumpulan orang, atau dari suatu masyarakat. Kedua, perspketif objektif, yakni pondasi yang kokoh yang terwujud secara aktual di luar pikiran manusia dan benar meskipun tidak ada orang seorang pun yang mempercayainya. Kriteria moral dalam kerangka Atheisme adalah subjektif dan relatif, yakni berbeda dari satu orang ke orang lain, dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dan tidak ada rujukan final yang ajek dan absolut saat terjadi perbedaan pandangan tentang nilai moral.

Dengan demikian, kajian tentang kebaikan dan kejahatan merupakan bagian dari kajian filsafat etika, yaitu filsafat yang mengkaji struktur norma yang membingkai gerak-gerik manusia. Jadi, ia merupakan model filsafat yang mengkaji nilai dari sesuatu. Karena itu, mustahil norma-norma etika dapat diafirmasi secara mutlak tanpa keimanan kepada Tuhan yang menjadi sumber kemutlakan.

Atheisme akan kesulitan memberikan persepsi tentang akhlak. Sebab, atheisme adalah filsafat materialistik yang tidak mengakui adanya nilai moral. Kebenaran, kebaikan, keadilan, kebajikan, kasih sayang, dan lain-lain, semuanya bukan atribut yang ada di dalam materi, bahkan tidak ada pada manusia sebagai materi yang digerakkan oleh syaraf yang tidak berkesadaran. Tafsiran berdasarkan eksperimen laboratorium materialistik tidak akan menemukan nilai etika pada manusia.

Lawrence Krauss, seorang ahli fisika yang atheis, dalam sebuah dialog pernah ditanya oleh Hamza Tzortzis, pendakwah Islam di Inggris asal Yunani, tentang alasan diharamkannnya pernikahan dua orang sedarah (inses). Krauss menjawab bahwa kesalahan perbuatan tersebut tidak jelas. Jawaban ini mendapatkan respon negatif dari publik.

Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis atheis, menyadari kesulitan intelektual dalam menemukan pondasi pemilahan secara etis antara kebaikan dan keburukan. Dia mengatakan, “Seorang eksistensialis akan sangat kesulitan membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena dengan tidak adanya Tuhan, maka hilanglah semua kemungkinan untuk menemukan nilai-nilai yang jelas di dunia. Implikasi lainnya, tidak akan ada kebaikan yang aksiomatis karena tidak ada kesadaran yang tidak terbatas dan sempurna yang dapat memikirkannya. Jika Tuhan tidak ada, tidak akan tertulis di mana pun bahwa kebaikan itu ada dan bahwa manusia harus jujur dan tidak boleh berdusta.” Darwin pun mengakui peran penting iman kepada Tuhan. Dia mengatakan, “Dalam kaitannya dengan peradaban yang lebih maju, iman yang kuat terhadap adanya wujud yang spesifik yang mengetahui segala sesuatu jelas sangat efektif pengaruhnya terhadap kemajuan dalam masalah moralitas.”

Richard Dawkins, agar tetap konsisten dengan sikap atheisnya, menolak atribusi wujud dengan nilai apa pun secara mutlak. Dia menetapkan relativisme moral dengan mengatakan, “Di dunia ini tidak ada kejahatan dan tidak ada kebaikan. Yang ada hanya ketidakpedulian yang buta dan ketiadaan kasih sayang.”

Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Alija Izetbegovit, dapat dikatakan bahwa seorang atheis boleh jadi berakhlak mulia, tapi atheisme tidak mungkin mengajarkan akhlak mulia. Mereka dapat melakukan akhlak yang mulia, tetapi mereka tidak dapat memberikan justifikasi atasnya. Pembahasan akhlak mulia baru dapat dimulai setelah keberadaan Tuhan diterima.

Keadilan di Dunia dan Keadilan di Akhirat

Dalam logika teologis, iman bahwa Tuhan itu ada berarti percaya juga bahwa Tuhan itu Mahabaik. Lalu, percaya bahwa Tuhan adalah Pencipta berarti percaya juga bahwa ada itu baik, sedangkan tidak ada itu tidak baik. Jadi, adanya alam semesta dan adanya kebaikan adalah kondisi normal, sedangkan ketiadaan dan kejahatan adalah pengecualian. Tuhan sebagai Sang Pencipta itu Mahasempurna, sedangkan alam semesta sebagai ciptaan-Nya niscaya tidak sempurna. Jika alam semesta juga sempurna, maka ia bukan alam semesta, tapi Tuhan. Ini tidak masuk akal.

Selain itu, secara teologis, seseorang yang mempercayai keberadaan Tuhan pada umumnya mempercayai kehidupan akhirat. Agar kita dapat memahami keadilan, maka terlebih dulu kita harus memahami hakikat kehidupan dunia dan akhirat. Sebab, makna keadilan di dunia tergantung kepada makna kehidupan dunia dan akhirat. Jika Allah menciptakan kehidupan dunia ini laksana surga yang abadi bagi manusia, lalu menjanjikan mereka tidak akan menderita, sebagaimana dijanjikan kepada Adam as, “Dan sungguh di sana [di surga] engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.” (QS. Thaha: 119), maka kita akan memahami keadilan tersebut bertentangan dengan keberadaan penderitaan dan keburukan dalam bentuk apa pun di dunia ini.

Sedangkan jika kehidupan dunia ini ada sebagai tempat cobaan dan ujian, dan dengan demikian manusia dapat memilih surga dengan amalnya, sebagaimana diterangkan di dalam firman Allah SWT, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-‘Ankabut: 2), maka keadilan tidak dapat dipahami kecuali di dalam kerangka berbagai halangan, hambatan, dan kesulitan yang membuat manusia layak masuk surga. Dengan demikian, penderitaan dan kesulitan itu tidak lain dari ujian dan tes yang membawa manusia menaiki anak tangga kesempurnaan.

Cabang olahraga yang dilombakan di olimpiade, misalnya, berbeda-beda. Masing-masing memberikan tantangan dan menuntut keahlian tersendiri. Tapi, pemenang dari masing-masing lomba itu akan diberikan medali emas yang sama. Begitu juga ujian yang diberikan kepada manusia di dunia ini berbeda satu dengan lainnya. Orang miskin dan orang kaya, orang yang sakit dan orang yang sehat, dan lain-lain, masing-masing memiliki ujian tersendiri yang sesuai dengan kondisinya, lalu surga akan menjadi balasan bagi semua yang lulus dalam ujian tersebut.

Penutup

Dengan demikian, secara filosofis menyangkal keberadaan Tuhan akan membuat seseorang kesulitan untuk membangun pondasi yang kuat untuk filsafat moralnya dan secara teologis sangkaan bahwa adanya kejahatan bertentangan dengan keadilan Tuhan berakar pada kesalahpahaman terhadap esensi kehidupan dunia dan akhirat. Orang yang beriman kepada Allah akan percaya bahwa Allah menciptakan dunia yang diwarnai oleh penderitaan yang fana agar manusia memperoleh kepantasan untuk kebahagiaan di dalam kehidupan akhirat yang abadi.

 

Bacaan Lebih Lanjut:

Markaz al-Rashd al-‘Aqa’idi, “Al-Syarr Ru’yah Mawdhu‘iyyah”, https://www.alrasd(.)net/arabic/replytoatheists/1304. 

Isma‘il ‘Arafah, “Idza Lam Yakun al-Ilah Mawjud Fa Kull Syay’ Mubah”, https://www.aljazeera(.)net/midan/intellect/philosophy/2017/9/19/.

BACA JUGA

Leave a Comment