Beranda » Malioboro (Wali yang Mengembara)

Malioboro (Wali yang Mengembara)

by admin

Oleh: Agus Ali Dzawafi, M.Fil

Pada awalnya saya mengira nama Malioboro diambil dari kata Marlboro atau semacam plesetannya. Seperti nama Bollywood di India yang terinspirasi Hollywood di Amerika. Begitu juga nama Tollywood di Bengal Barat. Sebelum ada Bollywood, Tollywood sudah menjadi pusat cinema India.

Terdapat beberapa versi asal mula nama Malioboro. Ada anggapan yang menyatakan bahwa Malioboro berkaitan dengan nama tokoh militer Inggris, Marlborough. Karena pengucapan “Marlborough” dianggap sulit, maka orang mengucapkannya dengan Malioboro. Konon, Kraton Yogyakarta di zaman Sultan Hamengku Buwono II pernah dirampok oleh pasukan Inggris.

Pendapat lain menyatakan bahwa nama Malioboro berasal dari kata Malyabhara. Dalam Bahasa Sansekerta, malya berarti karangan bunga dan bhara berarti menyajikan. Janur kuning yang melengkung dan karangan bunga warna warni dipasang di sepanjang Malioboro untuk menyambut kedatangan para tamu. Namun, yang menarik bagi saya adalah versi Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Yogyakarta. Menurut Diskominfo, Malioboro – secara etimologis- merupakan gabungan dua kata; malio dan boro. “Malio” sendiri artinya wali, sedangkan “Boro” yakni ngumboro berarti mengembara. Pesan yang ingin disampaikan dari penamaan ini adalah jadilah wali yang mengembara setelah memilih jalan keutamaan. Pengembaraan bisa berarti secara fisik dan juga secara psikis.

Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim al-Shirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Sadra menjelaskan ada 4 pengembaraan atau perjalanan manusia (al-asfar al-arba‘ah) menuju kesempurnaan wujud:

Pertama, السفر من الخلق إلى الحق (perjalanan dari makhluk ke al-Haq). Menghilangkan hijab kegelapan dan hijab cahaya. Hijab kegelapan adalah kotoran maqam nafsu. Hijab cahaya adalah sinar maqam hati dan maqam ruh. Perjalanan untuk meninggalkan alam materi ke alam mitsal, dari alam mitsal ke alam akal, dan dari alam akal menuju al-Haq. Maksud meninggalkan adalah meninggalkan dalam hati segala sesuatu selain Allah (ma siwa Allah). Dengan kata lain, meninggalkan kecintaan kepada makhluk. Boleh pegang uang tapi jangan mencintai uang. Boleh makan dan boleh minum tapi jangan sampai hati tertambat pada makanan dan minuman.

Kedua, السفر بالحق في الحق (perjalanan bersama al-Haq dalam al-Haq). Inilah perjalanan tanpa batas. Perjalanan ini merupakan penelusuran sifat-sifat Ilahiah, mengetahui seluruh sifat dan asma-Nya, fana dalam zat, sifat, dan perbuatannya. Sebagaimana firman Allah dalam Hadis Qudsi: “Bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya” (HR Bukhari).

Ketiga, السفر من الحق إلى الخلق بالحق (perjalanan dari al-Haq menuju makhluk bersama al-Haq). Perjalanan yang ketiga ini adalah lawan dari perjalanan yang pertama (dari makhluk ke khaliq). Dalam perjalanan ini timbul kesadaran setelah fana’. Kekal dengan kekekalan Allah. Menjelajahi alam Jabarut, Malakut dan Nasut. Menerima kabar langsung dari Allah tetapi bukan dinamakan sebagai seorang nabi tetapi mengambil dan mengikuti syariat Nabi saw. Meningkat ke baqa’ setelah fana.

Keempat, السفر بالحق في الخلق (perjalanan bersama al-Haq dalam makhluk). Perjalanan yang keempat ini adalah lawan dari perjalanan yang kedua (bersama al-Haq dalam al-Haq). Dengan mata ilahiah, seseorang memperhatikan makhluk dan rahasianya, mengerti seluruh rahasia makhluk, titik mula dan akhirnya, titik awal dan tujuannya, apa yang baik dan buruk baginya. Inilah maqam wilayah atau khalifah (khalifatullah) atau al-insan al-kamil. Dan bagi yang diangkat menjadi rasul, maqam ini disebut sebagai risalah (kerasulan).

Nabi Muhammad SAW setelah bertemu Allah di Sidratul Muntaha sebenarnya tidak mau berpisah dan tidak ingin kembali ke bumi. Tetapi perjalanan Nabi SAW belum selesai. Beliau harus kembali ke bumi untuk menuntaskan tugas kerasulannya. Perjalanan bersama Allah dalam ciptaan-Nya.

Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

BACA JUGA

Leave a Comment