Kesadaran manusia pada setiap aktivitasnya, pastilah berpijak pada niatnya yang suci dan tulus. Manusia bisa dekat dengan yang dikerjakannya, itu semua karena niat. Niat berpotensi mendekatkan.
Kedekatan antara manusia dengan yang dikerjakannya tidak memulu menjadi aktifitas yang membahagiakan, ada juga yang mengerjakannya sambil menahan isak tangis lantaran tidak sesuai dengan harapannya. Keterpaksaan itu adalah penyebabnya.
Tapi, ada yang dilupakan oleh manusia yaitu hakikat tentang dirinya. Ia dimaknai sebagai “makhluk berakal”, makhluk yang bertindak dan bergerak secara sadar. Kesadaran itu salah satu tolak ukur dia akan kemanusiaannya. Gerak yang dilakukan manusia akan menjadi tak bermakna jika tidak didasari dengan niat.
Niat berarti “menyengaja”. Tidak ada istilah iseng-iseng atau coba-coba. Aktifitas yang dilakukan dengan “menyengaja” biasanya melalui persiapan yang matang dan terencana. Menghadirkan kesadaran akal dan kemantapan hati. Dalam syariat misalnya, Nabi bersabda;
انما الأعمال بالنيات
Fungsi kata “Innama” dalam syarah hadist tersebut adalah “lil-hashr” yang artinya “untuk membatasi”. Niat membatasi manusia dari aktifitas yang bukan menjadi tujuannya, karena itu niat bagian dari tujuan manusia yang harus dicapai.
Tujuan dari pembatasan itu tentunya agar lebih fokus dengan tujuan awal. Jika niatnya A maka yang diharapkan dari hasilnya juga A, jika niatnya B maka yang diharapkan dari hasilnya juga B. Niat menentukan hasil.
Saya ingin katakan bahwa, “niat itu tidak diam”. Dia menjadi sebuah gerakan yang dengannya manusia bisa berubah, bisa maju dan bisa produktif, memberi manfaat untuk orang lajn. Jadi, dengan begitu bisa dikatakan bahwa manusia yang hanya diam di tempat maka bisa jadi ia tidak memiliki pemahaman utuh tentang niat itu sendiri.
Kemudian, pijakan dasar (niat) tentu membutuhkan sesuatu yang pada aktifitasnya akan memberikan kedamaian dan keikhlasan. Sesuatu itu adalah “cinta”. “Mencintai” yang secara leksikal dimaknai sebagai “kata kerja”, adalah implikasi dari potensi cinta itu sendiri. Kesadaran mencintai pekerjaan akan menimbulkan sikap kehati-hatian dan penuh tanggungjawab.
Manusia yang memiliki potensi mencintai, pasti ia ia mampu mengerjakan banyak hal. Karena “mencintai” dimaknai sebagai kata kerja. Dan kerja itu sendiri dimaknai juga sebagai harga diri kemanusiaan. Jadi, kalau sudah dimaknai sebagai harga diri, berarti punya tanggungjawab moral untuk tidak menyia-nyiakan amanah.
Cinta, itu berefek kesegala lini. Sebagai seorang pelajar, mencintai belajar akan memudahkan ia dalam memahami ilmu. Sebagai seorang pendidik, mencintai “mendidik” membuatnya tidak puas dengan metode-metode yang diterapkannya, selalu ingin kebaruan dalam proses pembelajarannya, dengan cinta melahirkan ide. Sebagai pemimpin, kepemimpinan yang dibangun dengan niat dan cinta yang kokoh akan mengantarkannya menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya. Karena bagaimanapun konsekuensi dari mencintai adalah dicintai. Tentu, mencintai dimaknai sebagaimana di atas.
Niat dan cinta akan membuka segenap pandangan manusia bahwa apa yang dikerjakannya bukan karena rasa takut atau pun menuntut sesuatu darinya. Ia akan memaknai setiap pekerjaannya sebagai “nilai kemanusiaan”. Saya mengatakan ini bukan berarti tidak memahami kemauan manusia sekarang yaitu mendapat upah besar dari hasil kerjanya.
Tapi, ada nilai moral yang harus dikuatkan untuk mencapai telos (tujuan) hidup manusia yaitu dengan memantapkan niat dan melakukan pekerjaannya dengan cinta.