Oleh: Jatmiko
Semiotika dikenal sebagai ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan ujaran manusia. Semiotik pun memiliki pengertian ilmu yang menyinggung tentang produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain.
Semiotika mencakup tanda-tanda visual dan verbal yang dapat diartikan, semua tanda atau sinyal yang bisa dimengerti oleh semua pancaindra kita sebagai penutur maupun petutur.
Bisa dikatakan, semiotik merupakan disiplin ilmu tentang tanda-tanda, studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Semiotik juga mempelajari sistem-sistem, aturan aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Perkembangan semiotika sudah dimulai dari zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance, dan memasuki zaman modern. Para ahli semiotika yang hidup pada zaman kuno ini antara lain Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), kaum Stoic (300-200 SM), dan kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi).
Menurut Plato, semiotika adalah tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dari representasinya yang berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dan lebih rendaah mutunya dari pengetahuan yang langsung.
Aristoteles mengartikan semiotik sebagai tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa yang diucapkan, bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua manusia tetapi ujaran tidak.
Menurut Bochenski (1669), Kaum Stoic memiliki pemikiran mengenai teori tentang tanda yang mengaitkannya pada tiga komponen pembentuknya, yaitu material atau penanda (signier), makna atau petanda (signified), dan objek eksternal. Penanda dan objek didefinisikan sebagai entitas material, sedangkan makna dianggap sebagai sesuatu yang diinkorporasikan atau dimasukan ke dalamnya. Tanda dibagi menjadi tanda commemorative dan indicative.
Kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi), teori yang terkenal dari kaum ini adalah epistemiologi materialistis, yaitu segala sesuatu yang kita rasakan adalah kesan yang diperoleh pikiran kita lewat gambaran atom dari permukaan suatu objek yang nyata, atau dengan kata lain dari materi ke konsep. Jadi, bahwa tanda sebagai data alamiah mempresentasikan sesuatu yang tak dapat dilihat atau ditangkap secara indrawi.
Masuk kedalam zaman abad pertengahan, perkembangan filsafat bahasa meuju pada dua arah: Pertama, dengan ditentukannya gramatika sebagai pilar pendidikan bahasa Latin serta bahasa Latin sebagai titik pusat seluruh pendidikan. Kedua, sistem pemikiran dan pendidikan filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi. Maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa.
Pendidikan abad pertengahan dibangun dalam tujuh sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal. Ketujuh dasar pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium (tata bahasa, logika, serta retorik) dan Quadrivium (aritmatika, geometrika, astronomi, dan musik).
Setelah abad pertengahan, dilanjutkan ke masa Renaissance mengandung pengertian ‘dilahirkannya kembali’. Secara historis Renaissance merupakan gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam suatu keadaban. Masa Renaissance ditandai dengan adanya usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan Yunani-Romawi. Pada masa Renaissance keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami inovasi yang berarti. Hal ini dikarenakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai semiotika masih merupakan bagian dari perkembangan linguistik pada masa sebelumnya.
Perkembangan dari zaman kuno hingga Renaissance adalah zaman modern. Perkembangan yang penting pada zaman ini adalah mulai timbulnya ilmu pengetahuan alam modern berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Adapun perkembangan filsafat pada zaman ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung.
Pada zaman modern ini, munculah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan. Dalam kaitan dengan kebahasaan, zaman ini juga lahir filsafat analitika bahasa. Beberapa aliran yang muncul pada zaman ini, yaitu aliran rasionalisme, tokoh terkenalnya René Descartes (bapak filsafat modern), Aliran empirisme dengan tokohnya Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume. Aliran kritisisme Immanuel Kant serta August Comte sebagai pendiri paham positivisme.
Tokoh-Tokoh Semiotika
Nah, berikut ini tokoh tokoh yang cukup terkenal dengan teori dalam dunia semiotika:
1. Charles Sanders Peirce
Sosok yang menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Pierce menyebut tanda dengan representament. Apa yang dikemukakan oleh tanda disebutnya object. Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Selain itu adalah tanda diinterpretasikan.
Hal ini menandakan bahwa setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Berdasarkan dari hal tersebut, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio yaitu, ground, acuan, dan interpretant-nya.
Dalam ilmu semiotika, gagasan Peirce yang paling terkenal adalah trikotomi tanda, antara lain:
1. trikotomi pertama, meliputi qualisign, sinsigns, dan legisigns.
2. trikotomi ke dua, meliputi ikon, indak, dan simbol.
3. trikotomi ke tiga, meliputi rheme, dicent/ dicisign, dan argument.
2. Charles William Morris
Sosok ini dikenal sebagai pelopor semiotika klasik. Morris mengembangkan tipologi tanda sebagian berdasarkan pragmatik, sebagian lain berdasarkan kriteria semantik.
Ilmu tanda menurut Morris, memiliki cakupan yang luas, terbentang mulai dari bahasa hingga pada komunikasi binatang. Morris sependapat dengan Peirce dalam hal tanda, bahwa tanda hanya dapat diinterpretasikan sebagai tanda bila diinterpretasikan sebagai tanda pula.
3. Ferdinand De Saussure
Ada yang cukup fenomenal dalam dunia linguistic yakni Ferdinand De Saussure, Konsep dikotomis (Langue-Parole) sangat penting dalam pemikirannya dan pasti telah membawa suatu perubahan besar bagi linguistik sebelumnya.
Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya. Parole adalah ekspresi bahasa pada tingkat individu. Saussure juga mengungkapkan adanya dua hubungan dalam semiotika, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).
Signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Penanda adalah aspek material dari bahasa. Sedangkan signified (petanda) adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa.
Pemikiran lain dari Saussure adalah analisi sistem tanda sinkroni dan diakroni. Sistem tanda sinkroni adalah analisis sistem tanda pada suatu titik waktu tertentu, terlepas dari sejarahnya. Sedangkan sistem analisis diakroni adalah analisis yang mempelajari evaluasi sistem tanda dalam pengembangan sejarah.
Ada lima pandangan dari Saussure yang kemudian hari menjadi pelatak dasar teori strukturalisme Levi-Strauss, yaitu: 1) signifier (penanda), signified (petanda), 2) form (bentuk), content (isi), 3) langue (bahasa), parol (tuturan, ujaran), 4) synchronic (sinkronik), diachronic (diakronik), dan 5) syntagmatic (sintagmatik), associative (paradigmatik).
4. Lois Hjlemsleve Hjlemsleve
Lois Hjlemsleve Hjlemsleve adalah salah seorang tokoh linguistik yang berperan dalam pengembangan semiotika pasca Saussure.
Hjlemsleve membagi tanda ke dalam expression substance dan content substance, dua istilah yang sejajar dengan penanda (signifier) dan petanda (signified) dari Saussure.
Hjlemsleve mengatakan bahwa sebuah semiotika denotatif adalah sebuah semiotika di mana bidangnya bukanlah semiotika, sedangkan semiotika konotatif adalah sebuah semiotika di mana bidangnya bersifat semiotika. Meskipun begitu, sebenarnya tidak hanya demikian yang berlangsung, karena peristiwa ini disebut “metasemiotika”.
5. Bernama Roman Jakobson
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang menyatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat diferensial. Jakobson memandang bahwa bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu:
1. fungsi referensial.
2. fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara.
3. fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh penyimak.
4. fungsi metalingual, penerangan terhadap sandi atau kode yang digunakan.
5. fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak.
6. fungsi puitis, penyandi pesan.
Jacobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia untuk membedakan unit-unit semantik, unit-unit yang bermakna, dan dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain.
Setelah melaui beberapa abad, ahirnya semiotik menjadi sangat penting dalam dunia linguistik karena perananya dalam menyikapi dan mengulik lebih dalam tentang sebuah karya yang lahir mendampingi kehidupan sehari hari, sehingga penting sekali dalam dunia kesusasteraan memahami lebih jauh tentang semiotik.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Pamulang.