Beranda » Refleksi Idul Adha: Pengorbanan dan Kesalehan Sosial

Refleksi Idul Adha: Pengorbanan dan Kesalehan Sosial

by Diki Ahmad

Selain hari raya Idul Fitri, salah satu hari raya yang paling dinanti-nanti umat Islam adalah hari raya Idul Adha. Bahkan di banyak negara yang berpenduduk muslim, Idul Adha lebih semarak dibandingkan dengan Idul Fitri. Sebenarnya memang harusnya demikian, mengingat dalam Idul Adha seringkali dirayakan dengan menyembelih hewan qurban sehingga sebagai ekspresi rasa syukur berkat daging kurban dapat dinikmati oleh semua kalangan. Tidak heran apabila umat Islam di Indonesia menyebutnya dengan “Rayagung” yang berarti perayaan agung atau perayaan besar.

Qurban, kurban, atau korban dalam tradisi agama-agama mempunyai makna, cara, dan tujuannya masing-masing karena lain agama lain pula makna, cara, dan tujuan kurbannya. Sebagai ritus religius yang penting, upacara kurban pada banyak suku bangsa, kurban darah merupakan tindakan religius inti. Tergantung pada apa agamanya, ritual kurban ada yang dipersembahkan kepada Tuhan (Abrahamic Religion dan sebagian aliran dalam agama India), dewa-dewa (kebanyakan agama India), dan roh-roh leluhur (agama Cina dan kebanyakan agama primitif). Caranya, ada yang mempersembahkan sesajian (sebagian agama primitif, sebagian agama India, dan agama Cina), hewan kurban (Islam, Yahudi sekarang, sebagian agama primitif, dan sebagian agama India), dan bahkan kurban manusia (sebagian agama primitif, agama Yahudi terdahulu, dan Nasrani yang mengorbankan Yesus (manusia secara biologis) dalam rangka menebus dosa asal para penganut iman Kristen). Adapun tujuannya adalah agar memperoleh kemakmuran serta terhindar dari bencana dan penyakit (Islam, agama Hindu, dan kebanyakan agama primitif), penghapusan dosa (Yahudi dan Kristen), penghormatan kepada dewa-dewa (agama Hindu), dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Islam).

Tidak mudah untuk mendeskripsikan ritual kurban dalam tradisi agama-agama. Sebab hal tersebut sangat terkait-erat dengan pemaknaan historisitas, kondisi lingkungan, kondisi sosial-budaya, serta situasi sosial-politik agama masing-masing. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang ada, pernyataan penulis di atas hanyalah gambaran besarnya saja. Adapun lebih jelasnya, seseorang dapat melakukan kajian lebih lanjut kepada rohaniawan agama yang berkaitan, sehingga akan didapatkan wawasan yang lebih luas dan mendalam. Kendati demikian, dalam rangka merefleksikan diri yang sedang merayakan Hari Raya Idul Adha saat ini, penulis hanya akan lebih fokus kepada pemaknaan kurban dalam tradisi Agama Islam saja. Dalam Islam, kurban berarti dekat atau mendekatkan atau disebut juga udhhiyah atau dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan. Secara historis, tradisi kurban dalam agama Islam selalu dikaitkan pada peristiwa Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Ash Shaaffaat: 102-107)

 

Dalam Islam, kurban berarti dekat atau mendekatkan atau disebut juga udhhiyah atau dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan.

Berkaca pada peristiwa Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail (dalam tradisi mayoritas kaum muslimin) atau Nabi Ishaq (dalam tradisi mayoritas agama Nasrani). Sebenarnya, dibalik perayaan qurban dengan tradisi penyembelihan hewan terdapat nilai-nilai luhur dalam dimensi vertikal berupa ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah dan horizontal berupa perlunya musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu secara sepihak, seperti halnya pernyataan Nabi Ibrahim kepada anaknya sekalipun itu adalah perintah Tuhan. Tentu saja peristiwa tersebut juga menjadi pelajaran, karena saat ini banyak sekali orang melakukan sesuatu sekehendaknya dengan mengatasnamakan Tuhan dan banyak orang yang menelan teks suci secara mentah-mentah tanpa memperhatikan dan memperdulikan konteks.

Ritual kurban dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah, yakni pada tanggal 10 (hari nahar) dan 11,12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ٣

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Al-Kautsar: 1 — 3).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa kurban selain dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan agar dekat kepada-Nya (dimensi vertikal/ hablun minallah), kurban juga mengandung banyak nilai sosial dalam tatanan kehidupan umat manusia (dimensi horizontal/ hablun minannas). Tidak heran apabila mayoritas para ulama menghukumi kurban sebagai sunah muakkad (sunah yang dianjurkan). Adapun, bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya). Dari Ummu Salamah ra, Rasulullah bersabda:

“Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.” (HR Muslim)

Bagi sebagian agama tertentu, diksi “menyembelih binatang” kedengarannya memang kejam dan tidak berperikehewanan. Namun, bagaimanapun juga inilah kehidupan, setiap makhluk mempunyai peran dan fungsinya masing-masing yang telah didesain oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga untuk mereduksi kekejaman tersebut dilakukanlah cara-cara manusia yang didasarkan pada aturan agama agar suatu tindakan menjadi lebih berperikehidupan. Oleh karena itu, ritual penyembelihan hewan dalam Islam tidak bisa dilakukan secara sembarangan, terdapat aturan yang harus ditaati dan dipatuhi yaitu orang yang berkurban adalah mereka yang merdeka-baligh-berakal, kondisi hewan kurban (kambing, domba, biri-biri, sapi, kerbau, dan unta) yang cukup umur dan dalam keadaan baik (tidak sakit atau cacat), dan ketika menyembelih disunahkan membaca “Bismillahi Allahu Akbar”. Adapun sistem pembagiannya dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain. Dalam konteks sedekah juga berlaku untuk disalurkan kepada non-muslim dengan syarat kepada kerabat dan sesama muslim telah terpenuhi serta bukan kafir harbi (non-muslim yang memusuhi kaum muslimin).

Namun, bagaimanapun juga inilah kehidupan, setiap makhluk mempunyai peran dan fungsinya masing-masing yang telah didesain oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga untuk mereduksi kekejaman tersebut dilakukanlah cara-cara manusia yang didasarkan pada aturan agama agar suatu tindakan menjadi lebih berperikehidupan.

Setiap makhluk hidup pasti akan mati. Maka dari itu, penyembelihan hewan kurban dan pembagiannya merupakan bagian dari bagaimana memanfaatkan sumber daya sehingga hewan kurban tidak mati sia-sia. Lagi pula, energi hewan-hewan sembelihan tersebut utamanya diperuntukkan bagi orang-orang agar kuat dalam beribadah dan bertindak sebagai khalifah di muka bumi, sehingga hal ini tidak bernada eksploitasi, melainkan menjaga dan memelihara hubungan manusia dengan alam (hablun minal alam). Dari tradisi kurban ini pula, ada banyak hikmah dan keberkahan yang didapatkan mulai dari aspek ekonomi berupa jalannya sistem perekonomian yang memotivasi para peternak untuk memelihara ketersediaan hewan kurban beserta pakannya, aspek sosial yang mampu menjaga hubungan sosial semua kalangan, dan aspek spiritual yang memicu seseorang akan kesadaran kepada Tuhan YME.

Melaksanakan kurban mestinya tidak sekadar menjadi cara merefleksikan kesalehan individu, karena lebih jauh dari itu pelaksanaan qurban juga menuntun kepada kesalehan sosial yang bahkan dapat dimulai dari unit terkecil sistem masyarakat, yaitu keluarga sebagaimana dicontohkan keluarga Nabi Ibrahim. Sebab dari keluargalah kepribadian seseorang mulai terbangun dan mulai dari keluarga pulalah individu siap menghadapi dunia. Anak manusia sangat rapuh. Sama seperti jenis mamalia pada umumnya, masa depan anak manusia sangat bergantung pada seberapa tangguh peran kedua orang tuanya.

Melaksanakan kurban mestinya tidak sekadar menjadi cara merefleksikan kesalehan individu, karena lebih jauh dari itu pelaksanaan qurban juga menuntun kepada kesalehan sosial yang bahkan dapat dimulai dari unit terkecil sistem masyarakat, yaitu keluarga sebagaimana dicontohkan keluarga Nabi Ibrahim.

Tidak seperti sebagian besar reptilia, sekalipun sejak lahir ditinggalkan kedua orang tuanya, mereka dianugerahi kemampuan khusus berupa bisa beracun, kemampuan berenang, dan taring yang kuat. Adapun sebagian besar jenis serangga, induknya mati setelah bereproduksi. Induknya tidak sempat menyaksikan masa depan anak-anaknya. Perhatian terakhir induknya adalah menempatkan telur-telurnya di dekat makanan seperti dedaunan, makanan basi, dan genangan air yang berisi panganannya. Oleh karena itu, sebagai jenis mamalia, manusia harus belajar dan sadar akan pentingnya ikatan keluarga.

Tidak semua orang beruntung terlahir dengan keadaan keluarga yang utuh dan serba ada, karena beberapa orang terlahir dalam keadaan serba kekurangan, tanpa orang tua dan tanpa warisan. Tidak jarang, dalam keadaan serba keterbatasan tersebut ada seseorang yang rela mengorbankan kebahagiaan dan masa depan dirinya demi kebahagiaan dan masa depan anggota keluarganya yang lain. Seseorang berhenti sekolah dan memilih bekerja penuh waktu agar dapat membiayai hidup, sekolah, dan mengaji anggota keluarganya yang lain.

Dalam suatu hadis diceritakan bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.”  “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam.

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil pelajaran bahwa ada “kurban” dalam keluarga yang seringkali terlupakan dan terabaikan, yaitu pengorbanan seseorang dalam keluarga demi kebahagiaan dan masa depan anggota keluarganya yang lebih baik. Pengorbanan tersebut tidak hanya menguras darah sebagaimana ritus-ritus kurban dalam agama-agama kebanyakan, tetapi juga menguras keringat dan pikiran sebagaimana pengorbanan yang terjadi dalam keluarga Nabi Ibrahim yang mengajarkan kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan. Oleh sebab itu, hormati dan sayangilah siapapun di antara keluargamu yang telah mengorbankan dirinya untukmu, entah itu ayahmu, ibumu, pasanganmu, saudaramu, kakakmu, atau bahkan adikmu.

BACA JUGA

Leave a Comment