Beranda » Sosok David Hume: Karya, Biliar, dan Ateis

Sosok David Hume: Karya, Biliar, dan Ateis

by admin

David Hume lahir pada tahun 1711 di Skotlandia. semenjak kecil, ia sudah terlihat bakat intelektual dan nalar kritisnya. Bayangkan saja anak pada usia 12 tahun, ia sudah mulai kuliah di Universitas Edinburg. Di sana, ia belajar ilmu hukum, filsafat, sastra, dan sejarah.

Setelah lulus, ia menekuni bermacam-macam pekerjaan, mulai dari perdagangan, diplomasi, penulis sejarah sampai pustakawan. Perjalanannya penuh lika-liku, namun dengan kecerdasannya, Hume mampu menyesuaikan dirinya dengan berbagai pekerjaan itu.

Pada tahun 1744, tepatnya saat ia berusia  23 tahun, karyanya besar pertamanya rampung, ia beri judul A Treatise of Human Nature sebanyak tiga jilid. Karya tersebut rampung saat ia tinggal selama tiga tahun di Paris.

A Treatise of Human Nature diselesaikannya di perpustakaan sekolah Jesuit di La Flèce, tempat di mana filsuf besar seperti Rene Descartes pernah belajar. Sayangnya, Hume muda dengan buku ini kurang mendapat perhatian dari publik pada waktu itu.

Berbeda lagi dengan buku berikutnya, Essays, Moral and Political yang memperoleh sambutan yang sangat baik. Setelah ia mengerti bagaimana mestinya sebuah gagasan disampaikan agar orang-orang mau menyelami gagasannya, Hume kembali menulis ulang bagian pertama dari karya pertamanya. Kemudian ia terbitkan lagi dengan judul Philosophical Essays Concerning Human Understanding pada tahun 1748. Karya pertamanya itu umumnya lebih masyhur dengan judul edisi keduanya, yaitu An Enquiry Concerning Human Understanding.

Buku An Enquiry inilah yang akhirnya membawa Hume menjadi tokoh Filsuf yang diperhitungkan sampai sekarang, dan banyak orang menganggap buku pertama dari jilid pertama yang ia tulis ulang adalah karya utama dari David Hume sendiri.

Sementara itu, bagian kedua buku A Treatise, Hume juga menulis ulang kemudian diterbitkan ulang dengan judul An Enquiry concerning the principles of morals pada tahun 1751.

Selain itu, Hume juga menulis mengenai tema sejarah dan agama. Hasil penelitiannya mengenai sejarah Inggris terbit dengan judul A History of England dalam 6 jilid.

Tak hanya bidang filsafat dan sejarah,  saat umurnya 47 tahun, Hume menerbitkan bukunya dalam bidang agama yang kemudian menjadi sangat terkenal, buku itu berjudul The Natural History Of Religion. Menariknya, gagasan dalam buku ini kemudian disajikan dengan cara yang lebih argumentatif dalam Dialogues Concerning Natural Religion yang ia sengaja terbitkan pada tahun 1779, setelah ia meninggal dunia. Kedua buku ini menjadi buku klasik dalam sejarah filsafat agama.

Hume bisa dikatakan sebagai filsuf pertama yang berbicara mengenai apa yang kita kenal dewasa ini sebagai sosiologi agama berdasarkan tulisan dan penelitiannya mengenai akibat atau pengaruh agama dalam bidang sosial dan sejarah.

Sebagamana Ibn Sina, ia juga menulis biografinya sendiri yang ia beri judul My Own Life. Filsuf yang karya-karyanya memengaruhi peradaban itu akhirnya meninggal dunia pada 25 Agustus 1776.

Selama hidupnya, ia sebenarnya memiliki ambisi untuk menjadi seorang guru besar di universitas di Skotlandia, namun sampai akhir hayatnya, Hume tidak pernah berhasil mencapai ambisinya, hal itu disebabkan Hume adalah penganut pandangan skeptisisme dalam hal agama dan ketuhanan.

HUME DAN PERMAINAN BILIAR

Seperti kita yang masih membutuhkan permainan untuk alasan hiburan ataupun mencari inspirasi, Hume pun begitu. Ia termasuk penggemar permainan biliar. Bahkan, kata Hume, ia lebih berbahagia bermain biliar ketimbang saat ia berfilsafat.

Namun, dari bermain biliar ini, seperti Newton yang melihat apel jatuh memberikan pencerahan tentang teori gravitasi, Hume sebab bermain biliar ia menemukan inspirasi untuk teorinya sendiri tentang kausalitas.

Begitulah Hume, ia tidak tahan untuk berfilsafat lama-lama. Ia persis kebalikan dari sosok seperti Spinoza. Kebiasaannya setelah berfilsafat di tempat belajarnya beberapa jam, ia akan pergi ke tempat sucinya untuk bermain biliar. Baginya, dengan bermain biliar, ia akan kembali semangat dalam berfilsafat.

Seperti Descartes dan Al-Farabi, Hume juga tidak pernah menikah sekalipun ia memiliki teman dekat beberapa wanita. Karena pernah tinggal di Prancis, Hume berteman dengan filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau. Namun persabahabatan keduanya tidak bertahan lama karena Rousseau menuduh bahwa Hume diam-diam mencoba memfitnahnya. Tapi tampaknya tuduhan itu muncul karena Rousseau mengidap paranoia, sebab tidak ada bukti bahwa Hume melakukan apa yang dituduhkan Rousseau itu.

ATEIS DI HADAPAN KEMATIAN

Sewaktu Hume menjelang ajal, penulis James Boswell mengunjunginya dengan tujuan untuk melihat apakah Hume tetap dapat mempertahankan sikap ateismenya di hadapan kematian.

Tapi saat itu Hume justru bercanda kepada Boswell mengenai kematian dan kemungkinan kehidupan setelah mati. Sikap Hume ini membuat Boswell justru terguncang. Namun bukan hanya Boswell yang terguncang oleh sikap dan pemikiran Hume mengenai agama dan Tuhan.

Tulisan-tulisannya yang sangat kritis mengenai agama, yang beberapa di antaranya — untuk menghindari kemarahan dari pembaca — sengaja diterbitkan setelah ia meninggal, juga mengguncang dan mengundang kecaman dari orang-orang beragama. Karena itu, orang berkata, bahkan dari dalam kubur pun, Hume tetap mengguncang agama dan orang-orang beragama, bahkan mungkin hingga hari ini.

Zaman Hume ditandai terutama oleh pergolakan di Eropa sebagai akibat kemajuan sains yang mengguncang banyak nilai-nilai dasar yang saat itu dianut masyarakat. Kemajuan sains ini adalah buah dari Pencerahan (Aufklärung).

Para filsuf yang disebut pada awal tulisan ini umumnya menghasilkan pemikiran yang tidak bersahabat dengan kepercayaan dan agama, terutama karena penekanan mereka pada metode ilmiah yang berbasiskan pengalaman empiris.

Sistem filsafat mereka hampir tidak memberi tempat kepada iman dan Tuhan. Mereka juga menentang segala bentuk dogmatisme dan intoleransi. Tidak mengherankan jika pencerahan dalam bidang sains itu mendorong banyak orang mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan tradisional, termasuk fondasi doktrin agama. Dan itu tidak hanya di Inggris.

Spinoza, misalnya, sekalipun tidak menganut empirisme, melainkan rasionalisme, bahkan dikeluarkan dari komunitas Jahudi di Belanda karena pemikirannya yang sangat rasionalis itu dianggap sebagai bentuk penistaan Tuhan. Hume sendiri, dan juga Descartes di Prancis, menerima banyak kecaman karena tulisan-tulisannya yang dianggap sangat kritis terhadap agama.

Pada zaman Hume, dunia intelektual sangat kuat dipengaruhi oleh perkembangan baru dalam ilmu-ilmu alam, terutama melalui karya-karya Newton. Sebagaimana diketahui, melalui metode eksperimen, Newton mampu menjelaskan kompleksitas alam semesta dengan cara sederhana, yakni dengan hukum gravitasi: perputaran benda-benda langit dan pergerakan benda-benda padat disebabkan oleh gaya tarik-menarik antar benda; gaya tarik-menarik serupa juga terjadi antara matahari dan anggota tata surya lainnya.

Prestasi cemerlang ilmu-ilmu alam dalam melakukan “reduksi kompleksitas” untuk menjelaskan fenomena yang kompleks ini menginspirasi banyak filsuf dan ilmuwan untuk menerapkan metode serupa ke ilmu-ilmu di luar ilmu alam.

Mereka seakan-akan berlomba menerapkan metode eksperimen atau observasi pada berbagai bidang ilmu. Mereka percaya bahwa pikiran manusia juga dapat diobservasi secara ilmiah dan bahwa melalui obervasi itu mereka akan menemukan metode universal yang juga dapat diterapkan pada ilmuilmu lainnya.

Demikianlah, Adam Smith (1723-1790), misalnya, menemukan prinsip sederhana untuk menjelaskan genesis tatanan sosial dan hukum moral, yakni melalui konsep simpati. Kant sendiri menerapkan metode Newton dalam proyek filsafat transendentalnya untuk meneliti kemungkinan metafisika sebagai ilmu pengetahuan.

Hume juga demikian. Ia bermaksud menerapkan prinsip serupa pada ilmu-ilmu manusia atau yang saat itu disebut ilmu-ilmu moral (moral science), yakni dengan tujuan untuk menemukan sebuah prinsip yang dapat menjelaskan semua perilaku pikiran dan tindakan manusia.

BACA JUGA

Leave a Comment